Gara-gara nonton “Crazy Rich Asian” dalam perjalanan pulang dari Lagos (telat banget yak), saya kok jadi teringat pengalaman beberapa tahun silam saat berjumpa seorang Crazy Rich Jakartan. Oya, saya emang sangat jarang banget nonton film, apalagi yang di bioskop, biasanya juga cuma nonton pas kebetulan naik pesawat full service yang ada pilihan filmnya.
Jadi tahun 2013 saya ada biztrip ke Amerika untuk inspeksi peralatan yang akan dipasang untuk suatu proyek di kantor. Ini prosedur standar untuk memastikan peralatan yang dibeli memang sesuai spesifikasi dan bekerja normal sebelum dikirim ke Indonesia. Kebetulan bos lagi baik hati mau ngirim saya pergi jauh-jauh ke Amrik, biasanya dia sendiri yang pergi kalau jauh-jauh hahaha….
Tujuan utama saya sebenarnya ada di dekat kota Dallas, Texas, tapi kantor mengatur perjalanan lewat Los Angeles, California. Karena perjalan yang panjang, lebih dari 24 jam termasuk transit, saya dan seorang kawan bisa naik pesawat kelas bisnis. Jaman itu dunia usaha lagi bagus-bagusnya dan standar kantor untuk perjalanan lebih dari 4 jam adalah kelas bisnis. Maskapainya pun gak tanggung-tanggung, kami naik Singapore Airlines (SQ), yang konon terbaik di dunia. SQ kelas bisnis ke Amerika dijamin pelayanan terbaik dengan pesawat terbaik. Dari Jakarta kami transit dulu di Singapura, lalu langsung dari Singapura ke Los Angeles, baru ganti pesawat United Airlines ke Dallas. Pesawat dari Jakarta adalah Boeing 777, lalu dari Singapura ke Amrik baru naik Airbus A380. Seingat saya, tiket total lebih dari US$ 9000 untuk tiket bolak-balik. Udah bisa beli sepetak tanah di pinggiran Condong Catur saat itu, tapi masih belum cukup kalau beli di dalam kompleks perumnas hahaha….
Pengalaman menarik adalah justru saat kami pulang ke Indonesia. Di Los Angeles, saat check in kami berjumpa dengan seorang Indonesia keturunan Chinese. Beliau cerita, sudah lama tinggal di LA, tapi masih ada keluarga di Indonesia.
“Pulang ke Jakarta ada acara apa Pak,” tanya saya ke beliau.
“Saya sebenarnya cuma mau berobat. Di sini, Amerika, mahal banget,” jawab beliau.
“Lho, apa gak lebih mahal di Jakarta kalau dihitung sama tiket pesawat pp, Pak,” tanya saya lagi.
“Nggak, tetep lebih murah daripada berobat di sini,” jawab bapak itu lagi.
Waktu itu saya memang belum ngeh kalau biaya kesehatan (rumah sakit, dokter, obat-obatan) di Amerika adalah yang termahal di dunia. Warga Negara Amerika Serikat pada umumnya punya asuransi kesehatan, yang preminya juga mahal dan gak semua warga negara sanggup membayarnya. Makanya, dulu jaman Presiden Barrack Obama ada program ObamaCare yang kira-kira mirip BPJS di Indonesia jaman now. Tapi ya gitu, ObamaCare sangat menguras kantong pemerintah Amrik karena biaya kesehatan yang sangat mahal, karena itu pengganti Obama alias Presiden Donald Trump berencana menghapus program tersebut. Saya kurang update berita terkini, biar Simbok saja yang nerangin kalau ada yang tanya hehehe….
Mahalnya biaya kesehatan di Amerika (dan negara Eropa Barat seperti Inggris) ini yang memicu lahirnya “Medical Tourism”. Ini adalah istilah bepergian sekaligus berobat di negara lain yang biaya kesehatannya jauh lebih murah. Kalau di Amerika, warga negaranya paling banyak berwisata sekaligus berobat di Mexico, negara tetangga sekaligus penyuplai imigran gelap terbanyak. Biaya berobat di rumah sakit yang sekelas ditambah biaya tiket dan hotel masih lebih murah daripada biaya berobat di Amerika. Kalau di Inggris, destinasi wisata medis adalah negara Eropa Timur seperti Hungaria.
Balik lagi ke kisah saya, setelah check in akhirnya kami berpisah karena bapak tadi naik kelas ekonomi, sementara saya dan kawan naik kelas bisnis. Karena jeda waktu antara check in dan boarding yang lama, sebagai penumpang bisnis kami bisa masuk fasilitas executive lounge khusus SQ yang mewah banget. Eh ujug-ujug kami ketemu penumpang Indonesia lain di lounge tersebut, sepasang suami-istri yang kira-kira umur 50-an dari penampakannya. Saat itu memang penumpang WNI yang masuk executive lounge hanya saya, kawan saya, dan pasangan suami-istri tersebut. Lainnya kalo gak bule ya sepertinya orang Singapura. Setelah kenalan dan basa-basi, mulailah kami ngobrol-ngobrol…
“Ada acara apa pak dateng ke Amerika,” tanya saya.
“Oh cuma medical check up aja,” jawab si bapak, yang langsung bertanya balik, “Kalian ada keperluan apa ke sini?”
“Kami ada tugas kantor,” jawab kawan saya yang disambung penjelasan dari saya tentang acara kami di Dallas sebelumnya.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan kawan saya, akhirnya kami tahu kalau bapak ini adalah purnawirawan alias pensiunan tentara yang punya bisnis pengadaan senjata ke tentara Indonesia. Ini bisnis senjata secara resmi ya, bukan pemasok senjata gelap. Kebetulan kawan saya pun seorang anak kolong alias anak tentara, jadi ngobrolnya lebih nyambung.
Setelah panggilan boarding ke pesawat, baru kami berpisah dengan bapak tersebut.
Lalu kawan saya baru bilang,”Tau gak lo, bisnis senjata tuh marginnya gila-gilaan. Pantesan aja bapak tuh tajir abis bisa medical check up ke Amerika.”
“Bener juga ya, tadi kita ketemu orang Indonesia di Amerika yang bela-belain pulang ke Jakarta naik pesawat kelas ekonomi buat berobat, sementara si bapak tadi bela-belain dari Jakarta ke Amerika naek pesawat kelas bisnis cuma buat medical check up. Pasti duitnya nyisa-nyisa tuh,” balas saya.
Kawan saya ini memang seorang pakar kontrak dan pengadaan, jadi dia tahu persis dunia pengadaan di tanah air.
Perjalanan kami lumayan lancar. Maklum lah, namanya kelas bisnis SQ, bisa berbaring tidur nyenyak di kursi empuk. Makanan pun berlimpah sampai kekenyangan. Servis nya pun yahud, mbak pramugari biasanya jongkok dulu baru nyodorin menu makanan.
“What do you want to eat, Sir,” sapaan khas mbak pramugari.
Kalau kita ketiduran, biasanya si mbak akan datang menyelimuti dan memastikan suasana sekitar sudah tenang.
Setelah sampai Jakarta, kami berjumpa lagi dengan si bapak. Ternyata ada kejutan lain begitu kami sampai di Soekarno-Hatta. Begitu kami berjalan menuju imigrasi, tiba-tiba ada tentara datang tergopoh-gopoh menyambut si bapak, sepertinya ajudan beliau. Setelah menyalami si bapak, lalu si ajudan mengambil paspor si bapak dan istrinya. Lalu bapak tadi bilang ke ajudannya, “Ini sekalian paspor kawan saya,” sambil menunjuk saya dan kawan saya. Kami langsung sigap dan memberikan paspor kami ke ajudan si bapak.
Episode berikutnya bisa ditebak. Kami gak perlu antri lewat imigrasi. Apalagi saat itu imigrasi di Soekarno-Hatta masih dikit banget loketnya, gak sebanding ama jumlah penumpangnya, jadi biasanya antrinya panjang banget. Ternyata ada pintu khusus di samping imigrasi, kami tinggal mbludus lewat pintu itu dikawal si ajudan. Selanjutnya kami tinggal nunggu bagasi di conveyor belt, lalu si ajudan menyusul kami dan memberikan paspor yang sudah dicap.
“Terima kasih, Pak,” kata kami ke si bapak dan ajudannya.
Setelah bagasi datang, kami pun berpisah dan pengalaman sebagai crazy rich usai sudah. Mau minta kontak si bapak kok ya gak pantes buat sobat misqueen alias kroco mumet keset melet hahaha….. Akhirnya kami pun pulang naik taksi biasa, sementara si bapak pulang dengan mobil mewahnya lengkap dengan pengawalan.
G ada fotonya tapi aku bs membayangkan suasananya..
LikeLike
Saya juga baru tau bahwa ajudan itu memang disediain & harus ada untuk para perwira dan bukan hanya ngurusin si Bapak kalo masih aktif (dan ternyata berlanjut ya sampai purnawirawan), tetapi juga keluarganya, termasuk isteri sama anak-anaknya dan teman-temannya sekalian (ya termasuk teman isterinya, teman anaknya dll)… yang menurut saya, agak abusing posisinya yah… hehehe
LikeLike