Tag Archives: thailand

Itinerary dan Budget Bangkok-Ayutthaya


Kalau punya liburan pendek biasanya kami hanya melakukan road trip ke kota-kota sekitar. Tapi kali ini, karena Oliq sedang liburan term break, bolehlah menyeberang ke negara tetangga. Pilihan kali ini adalah terbang ke Bangkok karena Puput dan saya belum pernah ke sana bersama-sama. Saya beberapa kali ke Bangkok, namun hanya dalam rangka kerja, jadi belum sempat mengeksplor kota ini. Sementara Puput hanya pernah ke Bangkok bersama ibunya dan rombongan ibu-ibu pensiunan, yang kunjungannya ke….eengg…..pabrik batu mulia.

Wakakaka malesin kan.

Di Wat Arun. Sudah minta izin foto Bapak Biksu.

Oliq juga belum pernah ke Bangkok, walau ini bukan kali pertama ke Thailand karena dia pernah ke Krabi waktu umur 3 tahun. Sedangkan bagi Ola, Thailand adalah negara ke-6 yang dia kunjungi.

Kami menghabiskan 4 hari di Bangkok, well, practically 4 malam 3 hari karena sampai di Bangkok sudah lewat tengah malam. Dari KL memang sengaja ambil pesawat malam, puluh 20.50, nunggu Puput pulang kantor dulu. Berangkat ke KLIA2 sambil setengah deg-degan karena super macet. Maklum saja rush hour, Jumat dan hujan.

Tapi alhamdulillah drama di perjalanan berakhir dengan lancar hingga kami tiba di bandara masih cukup waktu buat ngejus dan ngedonat. Damai….sebelum…

Ola hilang. Continue reading Itinerary dan Budget Bangkok-Ayutthaya

Sehari di Ayutthaya


Sementara Bangkok adalah ibukota modern Thailand, Ayutthaya adalah ibukota Kerajaan Siam yang berjaya antara tahn 1350 hingga 1700an sebelum dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Burma. Ibukota kuno ini kini tinggal puing-puing, walau sebagian pagodanya masih berdiri tegak. Kota  Ayutthaya terletak 80km sebelah utara Bangkok. Minggu lalu kami mengunjunginya.

Wajah Buddha di Wat Maha That

Sebelum berangkat ke Thailand pun saya sudah membaca banyak review dengan kesimpulan bahwa cara terbaik menuju ke Ayutthaya adalah menggunakan kereta api. Syukur-syukur bisa dapat paling murah, selain hemat juga lebih seru. Continue reading Sehari di Ayutthaya

Peringkat Negara ASEAN untuk Jalan-Jalan


Dulu saya punya cita-cita agung, mengunjungi semua negara ASEAN sebelum menikah. Apa daya, pada tahun 2010 saya hanya sempat sampai di Filipina – negara ASEAN ke 9 yang saya kunjungi. Dua bulan setelah itu saya terpaksa menikah dengan Puput sebelum tuntas.

Saya pernah ditertawai teman sih, punya cita-cita kok ASEAN, mbok ya mengunjungi mengunjungi semua benua! Wait! Itu cita-cita berikutnya, dong!

Myanmar yang seharusnya menjadi pelengkap, still got away. Maklumlah tahun 2010 itu Myanmar masih harus pakai visa, ribet ngurusnya. Tapi, waktu ke Kamboja (2008) dan Laos (2009) pun saya masih harus bayar VOA yang USD 20 itu! Huh.

Kabar baiknya, the one that got away was not getting away anymore! Apaan sih ini bahasa? Maksudnya, setelah terlambat 5 tahun – tepat di hari ulang tahun saya yang ke 25 – akhirnya saya menuntaskan semua negara ASEAN.

Berikut ini cuplikan serta peringkat negara mulai dari yang paling saya sukai hingga yang saya least sukai. Ingat, ini SUBJEKTIF, sesuai dengan pengalaman dan selera saya. Jadi jangan protes kalau tidak sesuai dengan pendapat Anda. Selain itu, walau sudah ke semua negara, di tiap negara paling saya hanya berkunjung ke 1-3 kota, kecuali Malaysia (10+ kota). Ke tiga, saya sengaja tidak mencantumkan Indonesia karena nanti jadi tidak adil dan kalau tidak jadi nomor 1 bisa-bisa saya dikepruki massa nasionalis .

  1. Vietnam
Salah satu sudut Old Quarter Hanoi

Continue reading Peringkat Negara ASEAN untuk Jalan-Jalan

Kabur ke Krabi


Awalnya kami tidak ada niatan dolan ke Krabi, Thailand. Tapi mendadak kota ini jadi pilihan karena beberapa hal. Pertama, harus pakai segera credit shell AirAsia waktu gagal mudik ke Jogja pasca Kelud meletus karena setelah 3 bulan akan hangus. Ke dua, sejak pindah ke KL belum sekalipun liburan yang pakai naik pesawat. Ih dangkal ya alasannya.

Terus kenapa Krabi? Kenapa nggak Seoul – mahal. Kenapa nggak Boracay – waktunya sempiiit banget. Kenapa nggak Turki – duite mbahmu po?

Pantai Ao Nang menjelang sore
Ao Nang

Tiket ke Krabi dari KL lumayan murah, dapat RM 800 untuk 3 orang pulang pergi, jadi nggak sampai 2,5 juta bertiga. Lumayan kan?

Kami sampai di Krabi Airport sekitar jam 7.30 pagi. Bandaranya bersih, sepi, nyaman, jauh banget kalau dibandingin bandara-bandara di Indonesia. Yang agak mengecewakan bagi Oliq waktu mendarat nggak ada pesawat lain, tapi anaknya cukup seneng lihat tangga-tangga untuk naik pesawat.

Imigrasi lancar jaya, karena ada 4 konter (+ 1 meja untuk yang VOA) untuk melayani satu pesawat saja.

Di luar sudah ada mas-mas yang pegang kertas bertulisan “Puput Aryanto”. Ahooi, itu jemputan kami. Memang di luar kebiasaan, kali ini saya booking airport transfer. Bukan sok gaya, setelah lihat di forum-forum, sebenarnya bisa dari bandara ke Ao Nang naik bus ganti dengan songthaew tapi bisa sampai 2 jam lebih. Taksi sekitar 600 baht.

Krabi Shuttle ini mencharge THB 599 untuk sekali jalan dari bandara ke Ao Nang dan sebaliknya. Saya booking secara online dan milih metode pembayaran “pay  cash upon arrival”  cocok nih buat kalian yang curigaan atau nggak mau sembarangan booking pakai kartu kredit.

Jebulnya, mobil tidak sesuai dengan ekspektasi saat booking. Saya booking mobil standard. Yang dikirim adalah Camry mewah baru gres dilengkapi Wifi cepet. Oh wooow *langsung online*

Perjalanan antara bandara ke Ao Nang butuh waktu 30 menit-an karena jaraknya juga hampir 20 km. Kami  sudah booking Aonang Cliff Beach Resort, sengaja cari yang aksesnya mudah buat jajan-jajan. Sampai di hotel jam 8 pagi. Dibukain pintu mobil sama mas bellboy namanya Amad. Mas Amad ini langsung nggendong Oliq ke resepsionis. Anaknya kalem aja.

Kebayang mau nitipin ransel lanjut jalan sampai waktu check in jam 2an. Dan coba apa kata resepsionisnya?

“Your room is ready. Do you want to have breakfast first or go to your room? We are afraid that there are not many halal restaurants open this early, so we give you complimentary breakfast for free.”

Duh, Mbak, kamar sepagi itu udah dikasih, dapet makan pagi gratis pula. Kene tak ambunge!

Berhubung dari KL belum mandi akhirnya kami ke kamar dulu buat mandi dan taruh tas. Dan ternyata di balkon kamar ada bathtub-nya, agak eksibisionis ditutup pohon-pohon kecil. Puput langsung kedip-kedip. Kelilipen belek!

Hari pertama itu kami langsung sewa motor. Sewanya di hotel karena malas kalau misalnya harus ninggalin paspor. Di hotel sewa motor 250 baht (75 ribu) sehari. Bebas aja sampai jam berapa. Habis makan kami langsung lanjut jalan-jalan naik motor.

IMG_2605-tile

Yuk kita review satu-satu pantainya, harap maklum kalau nggak lengkap soalnya di sini cuma 2 hari aja nggak genep.

Pantai Ao Nang ini touristy karena memang banyak sekai hotel dan penginapan di sini. Di sisi kiri ada jalan dari cornblock yang dipenuhi kafe-kafe dan restoran. Sisi kiri Ao Nang adalah tebing-tebing kapur tinggi cantik. Nggak cuma di sisi kiri dink, Krabi ini memang dikelilingi tebing kapur – melebihi Phuket.

Ao Nang ramai dengan pasir lembut, kadang-kadang ada tumpukan pecahan kulit kerang. Di sini juga banyak perahu wisata yang bawa turis ke Railay, Hong Islands, atau Poda Island. Kami nggak sempet island-hopping karena keterbatasan waktu.

Kesan pertama di Ao Nang ini adalah, “Mobilnya bagus-bagus!” kata Puput. Memang benar, merk mahal bertebaran. Fortuner aja dijadikan taksi.

Pantai-pantai di Krabi berbeda dengan di Phuket yang dipenuhi sundeck dan payung-payungnya. Di sini mah orang klekaran aja pakai tikar. Iya bener tikar biasa kaya di Indonesia. Hotel kami aja menyediakan tikar kok di kamar, buat dibawa ke pantai.

Ada juga Phranang Bay, sebuah teluk antara Ao Nang dan Nopparatthara. Orang-orang tinggal jalan atau naik motor dari satu pantai ke pantai lain. Parkir di mana saja sudah disediakan garis-garisnya, aman dan tidak bayar. Tuk-tuk dan songtheaw juga banyak berseliweran.

Nopparatthara
Nopparatthara

Nopparatthara pantainya panjang, banyak pohon-pohonnya. Ketika besoknya kami lewat sini lagi, hari Minggu, berderet mobil di pinggir jalan. Sepertinya Noppa ini jadi favorit wisatawan domestik yang bawa keluarga untuk piknik di pinggir pantai di bawah pohon. Mereka gelar tikar, bawa rantang lengkap *ngiler*

Kami sempat menyeberang dari Noppa ke pulau kecil di seberangnya. Air lautnya sebatas betis. Ini gara-gara Oliq lihat excavator lagi ngeruk pasir di dekat pulau itu. Ceritanya pasir dikerukin biar tidak dangkal dan perahu tetap lewat. Jadilah kami nongkrong di pulau pasir sambil nonton excavator.

Pas mau balik, jalan yang tadi udah ilang. Jadinya kami terpaksa meraba-raba kaki ke pasir cari jalan dangkal. Oliq udah nggak bisa digandeng lagi karena airnya sudah sepaha kami. Untungnya tiba di daratan dengan selamat walau basah kuyup.

Oh ya di antara Ao Nang dan Nopparatthara ini banyak bakul-bakul di gerobak yang jual banana pancake, ikan goreng, minuman, dan sebagainya. Sayangnya, mereka biasa sedia ketan buat teman makan ikan, bukan nasi L

Hari berikutnya kami ke arah Tubkaek, pantai yang jadi setting film Hangover 2. Yang mana filmnya? Ya mbuh, wong saya terakhir nonton bioskop pas masih hamil.

Kami nyasar dulu ke Klong Muang. Di sini pantainya biasa aja. Malah nonton sepasukan polisi lagi kerja bakti ngambilin sampah-sampah di pantai. Good job, boys!

Tubkaek
Tubkaek

Tubkaek diawali dengan Phulay Bay, di sinilah katanya setting pernikahan The Hangover 2 dilakukan. Kami melipir untuk cari pantai umum yang bisa dimasuki orang luar, bukan yg nginep di resor-resor mewah sekitar situ. Kami nemu jalan nylempit antara tebing dan sebuah resor. Pemandangannya memang bagus banget dari sini. Airnya jernih biru, kebetulan langitnya juga biru. Di depan ada jajaran pulau-pulau Hong yang bagus banget. Pantai di sini juga sepi cocok buat yang mau bulan madu. Resortnya juga mahal semua.

Foto-fotolah kami di sini. Oliq sibuk mainan pesawat sama excavatornya di pasir. Bapak simboknya foto narsis dulu. Muncullah serombongan bule. Salah satunya bertindak sebagai guide yang bilang, “Di sana itu mereka nikahnya” sambil nunjuk-nunjuk ke arah pantai pribadinya Phulay Bay. Yang lain manggut-manggut. Saya ikut manggut-manggut.

Jadi secara umum saya bisa bilang kalau Krabi itu lebih laid back daripada Phuket yang sangat ramai. Memang objek wisata di Phuket lebih banyak pilihan. Pantai di Krabi lebih sedikit (walaupun masih ada Railay dan Ton Sai yang katanya bagus dan tidak sempat saya kunjungi). Dari Krabi bisa ke Ko Lanta dan ke Phi Phi. Saya pernah ke Phi Phi dua kali sebelumnya, dan saya bisa bilang Phi Phi dan sekitarnya mungkin bagian dari Laun Andaman yang terbaik.

Tinggal pilih mau makan apa

Krabi cenderung lebih murah dari Phuket, walaupun jajanan pinggir jalan harganya tidak beda jauh (misal banana nutella pancake 40 baht, pad thai 60 baht). Restoran/warung halal cenderung lebih banyak daripada Phuket yang sangat komersil. Hiburan malam lebih sedikit, nggak lihat ada ladyboy di sekitar Ao Nang, beda sekali dengan Bangla.

Oh ya, pas pulang, mas sopir Krabi Shuttle yang sama jemput kami (yang telat bangun dan deg-degan setengah modar bakal ketinggalan pesawat) dengan Camry yang lain, lengkap dengan wifi pula. Jempol!

Jadi, kalau tiket murah Krabi bisa jadi pilihan – lebih bagus sekalian ke Ko Lanta, Phi Phi, dan Phuket.

Perjalanan Mencari Kota-Kota yang Nyaman bagi Seorang Muslim (bag 1 ASEAN)


Sebenarnya, sudah lama saya ingin membuat tulisan untuk menanggapi penelitian yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries.” Eh, rupanya ada pula tulisan dari Mbak Jihan dengan judul yang sama, tautannya bisa dilihat di sini. Ulasan Mbak Jihan ini sangat menarik, saya jadi tergelitik untuk menuangkan pemikiran dan pengamatan saya sendiri terkait masalah ini.

Masjid Raya Aceh, masjid kebanggaan serambi Makkah, salah satu bangunan yang selamat dari terjangan tsunami
Masjid Raya Aceh, masjid kebanggaan serambi Makkah, salah satu bangunan yang selamat dari terjangan tsunami

Untuk lebih menghangatkan suasana, berikut kutipan dari kompas, yang juga dikutip dalam tulisan Mbak Jihan.

Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Lalu bagaimana dengan negara-negara lain? Masih dari blog Mbak Jihan, ternyata negara dengan mayoritas penduduk muslim yang menempati peringkat tertinggi adalah Malaysia di urutan 39. Sementara Arab Saudi sebagai pemilik dua kota suci Makkah dan Madinah berada di peringkat 131. Sebagai perbandingan, Jerman berada di urutan 17, Amerika Serikat ada di 25, sementara Jepang menduduki peringkat ke-29.

Masjid Nabawi di Madinah, kota suci umat Islam yang tenang dan damai
Masjid Nabawi di Madinah, kota suci umat Islam yang tenang dan damai

Sebenarnya, buat saya pribadi judul “How Islamic are Islamic Countries” alias “Seberapa Islami Negara Islam” sebenarnya terasa sangat bombastis. Coba kalau dipersempit menjadi “Sebarapa Islami Seorang Muslim,” rasanya jawabannya pun sangat sulit. Apakah dinilai dari seberapa rajin dia shalat, sebarapa banyak zakatnya, sebarapa banyak hafalan Quran-nya, seberapa dalam pengetahuan Quran dan Haditsnya, dll yang sangat sulit diukur. Menurut saya, pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Allah SWT selaku Tuhan Semesta Alam. Kalau individu saja tidak bisa diukur, apalagi skala yang lebih luas seperti negara.

Pasti Anda akan kembali bertanya, apa iya tidak ada parameter untuk mengukur tingkat keislaman suatu negara?

Kalau saya sendiri sih, lebih suka menilai dalam skala kota daripada negara. Lihat saja negara kita Indonesia, kalau Jakarta dibandingkan dengan Yogyakarta saja sudah jelas sekali bedanya, apalagi dengan Banda Aceh misalnya. Dan ingat, meskipun Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, Islam bukanlah agama mayoritas di semua kota. Akibatnya, warna Islam pastinya akan berbeda antara kota Bandung yang mayoritas Islam dengan kota Denpasar yang mayoritas bukan Islam.

Anda pasti masih ingin berdebat, apa dong indikator tingkat keislaman yang saya pakai. Saya sendiri tidak suka menggunakan istilah “tingkat keislaman” alias “how Islamic” dengan alasan yang sudah saya kemukakan di atas. Namun, saya lebih suka menilai tingkat kenyamanan suatu kota dan bagaimana kemudahan pelaksanaan ibadah bagi kaum muslimin di kota tersebut. Terus, tolok ukurnya apa kalau begitu?

Kalau menurut saya, sekali lagi menurut saya, seorang pekerja kantoran biasa yang gemar jalan-jalan dan tentunya beragama Islam, indikatornya adalah fasilitas publik seperti trotoar, taman, kemudian transportasi umum (penting banget nih buat traveler kere), lalu lintas, kebersihan, ketertiban, keramahan, keamanan, dan …… yang paling penting adalah kenyamanan dan kemudahan beribadah, utamanya shalat di masjid, termasuk menemukan makanan halal.

Sekali lagi, indikator di atas adalah murni pendapat saya pribadi, boleh setuju boleh tidak. Tidak ada penelitian ilmiah dan sebagainya, hanya pengamatan dan pengalaman pribada saja. Jadi kalau Anda punya pendapat berbeda, monggo-monggo mawon, wong yang Anda lihat pastinya akan berbeda dengan yang saya lihat. Kalaupun sama, intepretasinya pun belum tentu sama. Saya tidak menyinggung masalah yang berat-berat seperti politik, ekonomi, HAM, dll…Kalau masalah ini biar Simbok Oliq saja yang bergelar Master of International Relation. Kalau saya hanya bisa nggelar kloso alias tikar.

Lalu kota-kota mana saja yang dinilai, apakah kota-kota besar seluruh dunia? Wah, kalo itu sampai tua pun bisa-bisa belum semua bisa dikunjungi. Di sini saya hanya menilai dari kota-kota yang pernah saya kunjungi saja. Alhamdulillah, saat ini sudah ada beberapa kota dari beberapa negara yang setidaknya bisa memberi gambaran luas bagi Anda.

Dimulai dari Indonesia, saya lahir dan besar di Yogyakarta, kemudian kuliah di Bandung, lanjut kerja di Jakarta, kemudian hijrah ke Balikpapan (walaupun bukan di kotanya), balik lagi ke Jakarta, hingga akhirnya awal tahun ini keluar dari Indonesia. Meluas ke negeri tetangga, kota-kota di negara ASEAN yang pernah saya kunjungi adalah Singapura, Kuala Lumpur (Malaysia), Kota Kinabalu (Malaysia), Bangkok (Thailand), Hanoi (Vietnam), dan Ho Chi Minh (Vietnam). Lanjut ke Asia, saya pernah plesiran ke Tokyo (Jepang), Kyoto (Jepang), New Delhi (India), dan umroh ke Makkah dan Madinah (Arab Saudi). Kemudian saya juga pernah diajak Simbok Oliq kilas balik ke Meulborne dan Sydney (Australia). Lalu yang agak jauh adalah kunjungan ke benua Eropa yang meliputi Paris (Prancis), Amsterdam (Belanda), dan Stavanger (Norwegia). Yang paling jauh adalah perjalanan ke Amerika Serikat, dimana saya berkesempatan menyambangi kota San Diego, San Fransisco, Los Angeles (ketiganya di negara bagian California), dan Dallas (Texas). Alhamdulillah….

Kota San Diego dilihat dari laut, salah satu kota di Amerika Serikat yang berdekatan dengan perbatasan Meksiko
Kota San Diego dilihat dari laut, salah satu kota di Amerika Serikat yang berdekatan dengan perbatasan Meksiko

Saya mulai dari Yogyakarta. Rasanya ini kota ternyaman di Indonesia versi saya. Di sini fasilitas publik lumayan bagus dibanding kota lain di Indonesia. Transportasi umum yang berupa bis kota sudah banyak yang uzur dan ditinggalkan pelanggannya yang kebanyakan beralih ke motor (seperti kota-kota besar lainnya), namun untungnya sekarang bis Trans Jogja sudah mulai digemari warganya. Kondisinya masih lumayan bagus, sayangnya jangkauannya masih terbatas. Kotanya cukup bersih, bisa dibilang tak ada pemukiman kumuh disini. Penduduknya juga ramah. Sayangnya kini lalu lintasnya mulai semrawut dan macet karena saking banyaknya motor, sementara jalan hanya bertambah sangat sedikit. Tapi bisa dibilang ini masalah semua kota besar di Indonesia. Sementara dari segi kemudahan menjalankan ibadah, Yogyakarta juga sangat nyaman. Masjid mudah ditemukan di mana-mana, demikian juga dengan makanan halal. Sayangnya, di sini saya tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang saya, jadilah saya harus hijrah dulu dari kota tercinta ini.

Takbir keliling dengan nyaman di Yogyakarta, tapi cukup di jalan kompleks, tak perlu ke jalan besar yang bisa mengganggu pengguna jalan lain
Takbir keliling dengan nyaman di Yogyakarta, cukup di jalan kompleks, tak perlu ke jalan besar yang bisa mengganggu pengguna jalan lain

Lanjut ke Jakarta, rasanya tak perlu panjang lebar lagi. Masalah klasik banjir dan macet masih belum teratasi hingga kini. Belum lagi kebiasaan buang sampah sembarangan yang parah. Fasilitas publik pun rata-rata kondisinya memprihatinkan walaupun sekarang sudah banyak perbaikan. Meskipun tranportasi umum masih sulit diandalkan, tapi bagusnya sekarang sudah terlihat perbaikan yang nyata. Untuk urusan beribadah, secara umum sudah nyaman. Masjid dan mushola tersebar di seluruh penjuru, bahkan kadang-kadang berdekatan. Sayangnya, saya banyak menemui masjid yang berlebihan dalam mengumandangkan pengajian dan wirid. Sebelum subuh banyak masjid yang sudah mengumandangkan pengajian dari rekaman entah dari jaman kapan, kadang bahkan sampai sejam sebelum waktu subuh. Bagi saya, ini sangat berlebihan, apalagi tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW. Nabi hanya menyuruh sahabat Bilal untuk mengumandangkan adzan secara lantang sebagai tanda shalat lima waktu, itu saja. Kalau Anda datang ke Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, Anda hanya akan mendengar adzan dan iqomat saja yang dikumandangkan lantang dari masjid, lain itu tidak. Selain menyelisihi sunnah, pastinya sangat mengganggu warga yang sedang beristirahat, apalagi bayi dan anak kecil. Jangan salah sangka lho, saya sendiri selalu berusaha shalat subuh tepat pada waktunya dan pergi ke masjid, tapi saya sangat tidak setuju kalau suatu masjid berlebihan dalam mengumandangkan pengajian dan wirid diluar adzan dan iqomat, karena memang tidak ada tuntunan dari Nabi SAW dan sangat menggangu. Kalau hal ini, Simbok Oliq yang sensitif karena Oliq suka tiba-tiba bangun dan menangis waktu masih bayi.

Masjid kubah emas di Depok... mungkin inilah masjid paling mewah di Indonesia
Masjid kubah emas di Depok… mungkin inilah masjid paling mewah di Indonesia

Mari kita beranjak ke negeri tetangga. Dimulai dari Singapura, sepertinya negeri ini contoh yang nyaris sempurna sebuah negara maju. Fasilitas publik yang bagus dan terawat, transportasi publik berbasis rel yang menjangkau hampir semua wilayah, serta kebersihan yang sangat terjaga di setiap sudut kota merupakan idaman setiap warga kota. Namun karena Islam bukan agama mayoritas disini, mencari masjid tidak semudah seperti di kota-kota di Indonesia ataupun Malaysia, walaupun masih lebih mudah dibanding kota-kota di negara-negara Eropa. Makanan halal juga demikian, meskipun tidak semua tempat ada, namun dengan sedikit usaha pasti kita bisa menemukannya. Tapi berhubung negara ini sangat kecil, suasana disini terasa sangat padat. Dimana-mana gedung pencakar langit, entah perkantoran atau apartemen. Seperti terkurung dan cenderung membosankan bagi saya. Belum lagi harga-harga yang sangat mahal dibanding harga-harga di Indonesia atau Malaysia. Untuk tinggal sementara waktu memang nyaman, tapi untuk tinggal dalam waktu lama, saya sendiri kurang suka.

Kali ini saya akan melewati Kuala Lumpur karena akan saya ulas di bagian terakhir. Beralih ke Bangkok, secara umum fasilitas publik dan lalu lintas di sini mirip dengan Jakarta. Dulu saya datang ke sini sekitar tahun 2005 sebelum transportasi massal dibangun, jadi rasanya mirip dengan di Jakarta. Mungkin sekarang sudah lebih mendingan daripada ibukota Indonesia itu. Sisi baiknya, disini sungai masih dimanfaatkan sebagai jalur transportasi sehingga bisa mengurangi kepadatan di jalan raya. Kalau soal kebersihan dan ketertiban, menurut saya mirip-mirip dengan Jakarta, tapi entah kalau sekarang. Nah, kalau bicara masalah Islam, disini jelas minoritas, jadi mencari masjid dan makanan halal agak sulit. Biasanya masjid hanya ada di pemukiman-pemukiman Islam yang umumnya orang India – Pakistan muslim atau pemukiman Melayu. Tapi kalau makanan halal masih bisa dicari dengan sedikit usaha karena wilayah ini masih berdekatan dengan Malaysia. Jadi buat seorang muslim, kehidupan di Bangkok memang agak sulit dibandingkan di Kuala Lumpur atau Jakarta, bahkan Singapura yang juga bukan mayoritas Islam.

Menuju ke utara lagi, secara umum Ho Chi Minh City terlihat lebih tertinggal dibanding ibukota-ibukota lain di negara ASEAN. Tak heran, perang Vietnam yang baru berakhir tahun 1976 membuat kota ini terlambat melakukan pembangunan. Namun, dibalik fakta itu, saya cukup kagum dengan kemajuan yang sudah dicapai kota ini. Meskipun secara umum fasilitas publik tidak terlalu bagus, di beberapa tempat terasa sangat nyaman untuk sekedar berjalan-jalan santai. Transportasi umum masih jauh tertinggal disini, bahkan taksi pun mayoritas berupa sedan butut tanpa argo. Lalu lintasnya juga sangat padat dengan motor, namun saya merasa lebih tertib dibanding Jakarta. Yang membuat saya kagum, terasa sekali penduduknya memiliki semangat kerja yang kuat setelah masa peperangan berakhir. Yang menyenangkan salah satunya adalah harga-harga makanan yang murah disini. Oya, sekedar info saja, mata uang vietnam, dong, nilainya lebih kecil dari rupiah, satu rupiah sama dengan 2 dong. Kalau untuk kaum muslim, mencari masjid dan makanan halal lebih sulit lagi. Seperti halnya di Bangkok, masjid umumnya ada di kantong-kantong kaum India-Pakistan muslim atau Melayu. Jadi kehidupan umat Islam di sini memang agak sulit, mirip dengan di Bangkok. Namun demikian, dalam pengamatan saya kaum muslim di sini cukup bebas dalam menjalankan ibadah, tidak ada tekanan.

bersambung ke bagian Asia…