Tag Archives: bayi

Parenting by Traveling


Rasanya kini banyak tulisan tentang parenting yang populer di kalangan orang tua muda seperti saya dan simbok cempluk, tapi rasanya masih sedikit yang menggabungkan parenting dengan traveling. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman kami traveling dengan anak-anak bersama Oliq, kini hampir 3 tahun, berkelana ke 9 negara secara backpacking sejak usia 6 bulan.

Backpacking pertama Oliq ke Australia, saat itu masih 6 bulan dan pastinya masih nyusu ke simbok
Backpacking pertama Oliq ke Australia, saat itu masih 6 bulan dan pastinya masih nyusu ke simbok

Sebelum menikah, saya memang suka jalan-jalan secara backpacking. Hobi asli naik gunung dan bertualang sejak jaman SMA membuat saya sangat familiar dengan gaya backpacking, jauh sebelum tren ini merebak di kalangan anak muda. Demikian juga dengan Olen, meskipun jarang naik gunung, tapi juga penggemar berat jalan-jalan. Dan yang pastinya, hobi ini lah yang akhirnya menyatukan kami hingga lahirnya Oliq di tahun 2011.

Oya, kami memilih untuk mengurus anak sendiri tanpa baby sitter dan bala bantuan orang tua, karena kebetulan kami ada di Jakarta dan orang tua kami di Jogja. Pastinya harus ada pengorbanan, simbok cempluk yang sudah bergelar master akhirnya memutuskan menjadi ibu rumah tangga saja. Dan buat saya sendiri, harus banyak meluangkan waktu di rumah berbagi dengan Olen.

Setelah Oliq lahir, tentunya kami tak ingin hobi kami terhenti hanya gara-gara sibuk mengurus anak. Justru buat kami, lahirnya Oliq membawa suatu dimensi petualangan baru yang lebih menantang. Kalau sebelumnya solo backpacker atau berdua rasanya mudah saja, mau blusukan atau ngemper juga ayo aja, kini setelah adanya si kecil yang mulai bandel, perhitungannya harus lebih matang walaupun tidak mengorbankan semangat backpacking dan petualangan.

Sampai saat ini kami tetap berpegang teguh pada prinsip backpacking, merencanakan sendiri jalan-jalan, tidak tergantung pada travel agent, dan tetap tidak mengandalkan baby sitter, orang tua, atau sodara untuk mengurus Oliq selama bepergian. Sampai saat ini baru sekali kami menggunakan jasa travel agent pada saat umrah saja hehehe… saat itu jelas, pertimbangannya ini lebih kepada perjalanan ibadah, bukan sekedar jalan-jalan biasa. Meskipun demikian, tetap saja ada keinginan untuk benar-benar umrah backpacking, rasanya lebih menantang dan puas kalau berhasil 🙂

Umrah pada saat umur Oliq 11 bulan, walaupun bukan backpacking tapi ikut rombongan umrah seperti biasa...
Umrah pada saat umur Oliq 11 bulan, walaupun bukan backpacking tapi ikut rombongan umrah seperti biasa…

Pertanyaan paling sering diajukan ketika kami hendak bepergian, apalagi jauh, dengan Oliq adalah, “Apa gak repot, jalan-jalan sambil bawa anak kecil?”

Rasanya ini pertanyaan retorik, pasti lebih repot daripada tanpa membawa anak kecil. Tapi kenapa kami nekat melakukannya, tentunya ada pelajaran berharga bagi kami si orang tua, maupun bagi si kecil dibalik kerepotan yang mesti dihadapi. Pelajaran, hikmah, dan tips-tips ini yang ingin saya bagi untuk ayah-bunda, papa-mama, bapak-simbok muda yang juga ingin berjalan-jalan dengan sang buah hati, namun masih ragu dan bingung.

Bagi saya dan Olen, banyak hal yang bisa kami ajarkan pada Oliq dalam setiap kesempatan traveling. Tak hanya bagi Oliq, bagi kami sendiri, setiap petualangan juga selalu memberi pelajaran yang baru karena parenting sendiri adalah proses pembelajaran yang tiada pernah terhenti. Berikut beberapa pelajaran yang bisa dipetik dalam backpacking, tentunya berdasarkan pengalaman pribadi kami.

 

Dari Condongcatur ke Paris
Dari Condongcatur ke Paris, bersama stroler dan jarik kebanggan simbok Cempluk

1. Mandiri

Dengan traveling secara backpacking, pastinya Anda dan pasangan harus merencanakan sendiri perjalanan, mulai dari tiket, hotel, obyek wisata, transportasi, hingga rute perjalanan. Dengan adanya anak kecil, tentu hal tersebut menjadi lebih rumit lagi. Namun disinilah sebenarnya seninya, disatu sisi Anda tetap ingin memanjakan anak selama perjalanan tapi si anak juga dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan gaya backpacking orang tuanya. Pada waktu bepergian pertama kali keluar negeri bersama Oliq ke Australia saat dia masih berumur 6 bulan, terasa sekali ribetnya. Mulai dari tiket yang sudah dipesan sebelum dia lahir, jadi kudu mengubah nama bayi setelah lahir, persiapan bawa gendongan, stroler, perlengkapan bayi, hingga Olen yang harus selalu siap sedia menyusui Oliq setiap saat. Repot memang, namun rasanya lebih puas.

2. Melatih kekompakan orang tua

Jalan-jalan melibatkan papa, mama, dan anak kecil secara mandiri tentunya memerlukan kekompakan yang menurut saya tidak bisa diajarkan namun harus dipraktekkan langsung. Mulai dari merencakanan perjalanan, memilih rute, hingga saat-saat ketika anak rewel memerlukan pengertian yang baik dari bapak maupun ibu. Komunikasi yang intens disertai kemauan kuat untuk memahami anak tanpa harus terlalu memanjakan adalah kunci utama agar acara backpacking menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi semua keluarga. Salah paham itu biasa, tapi jangan sampai berlarut-larut apalagi saat di perjalanan. Hati-hati, anak kecil memiliki kepekaan yang tinggi, dia bisa merasakan kalau ada suasana tak nyaman dari ayah maupun bundanya.

Three is better than alone
Three is better than alone.. butuh kekompakan untuk menghasilkan foto seperti ini

3. Mengendalikan Ego Jalan-jalan

Seperti halnya backpacker lainya, umumnya saya dan Olen ingin memaksimalkan kunjungan ke berbagai obyek wisata di suatu tempat, apalagi kalo bepergian jauh. Dengan adanya Oliq, saya dan Olen mau tak mau harus mengalah dan menyesuaikan dengan jam biologis Oliq. Kini, kami lebih santai dalam merencakan perjalanan. Harus ada istirahat untuk menyusui dan menidurkan Oliq. Kadang kami baru bisa jalan-jalan setelah menjelang siang karena menunggu Oliq bangun. Demikian juga kami tidak bisa pulang larut malam, karena pastinya Oliq sudah mengantuk dan bakalan rewel kalau dipaksa jalan-jalan. Tak jarang juga kami bergantian menggendong Oliq yang sudah tertidur.

4. Keluar dari Comfort Zone

Backpacking adalah salah satu cara keluar dari zona nyaman, apalagi kalau dengan anak-anak. Ini pun berlaku bagi bayi dan anak-anak, semakin cepat mereka dikenalkan dengan backpacking, semakin mudah bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sesungguhnya yang seringkali tidak ramah. Mulai dari menunggu di bandara, berpindah-pindah tempat tidur, makanan yang tidak cocok, dan banyak hal lain yang sering membuat stress selama acara backpacking. Pada awalnya memang terasa berat bagi anak-anak, tapi dari pengalaman kami, semakin cepat anak dikenalkan, sebenarnya semakin mudah bagi dia untuk bisa menikmati kegiatan itu di kemudian hari. Kini, Oliq bisa dibilang sudah sangat enjoy kalau diajak jalan-jalan, entah itu hanya sekedar keliling kota tanpa menginap di hotel ataupun keluar negeri beberapa hari yang sangat berbeda dengan lingkungan sekitar kami.

5. Mengenal dunia dan keanekaragaman

Dengan jalan-jalan, anak pastinya akan banyak melihat hal baru yang mungkin tak ada di sekeliling rumahnya. Mulai dari alat transportasi, fasilitas umum, obyek wisata, hingga yang paling penting adalah mengenal berbagai manusia dengan segala macam karakternya. Karena seringnya Oliq naik pesawat, di umur sekitar 2 tahun dia bisa menghafal berbagai logo pesawat. Kini dia pun cukup akrab dengan berbagai alat-alat konstruksi seperti crane, excavator, dan tracktor karena seringnya dia melihat di sekeliling KL. Oliq pun mudah akrab dengan berbagai suku bangsa, entah itu orang Indonesia, Malaysia, Jepang, Arab, Afrika, dan Eropa, walau komunikasinya kadang hanya sebatas senyuman dan cekikikan khas Oliq. Pastinya kami berharap nantinya Oliq juga bisa menghargai perbedaan tanpa menganggap satu suku lebih baik dari suku atau bangsa lainnya.

Oliq dan teman baru
Oliq dan teman baru

6. Belajar disiplin

Jangan salah lho, backpacking dengan anak-anak juga bisa melatih kedisiplinan mereka. Jadwal pesawat yang tepat misalnya, melatih anak-anak untuk disiplin dalam mengatur waktu. Berbagai aturan dan kebudayaan yang berbeda-beda juga bisa dijadikan sarana untuk melatih kedisiplinan anak. Misalnya di negara yang transportasi umum dengan kereta (LRT atau MRT) sudah maju, ada aturan tak tertulis kalau melewati eskalator harus berjalan bila berada di sisi kanan. Kita bisa melatih anak untuk mengikuti aturan ini. Juga aturan kalau di dalam kereta tidak boleh makan dan minum.

7. Belajar budaya lain yang lebih baik

Salah satu tantangan backpacking adalah kita akan terpapar langsung dengan budaya lokal, yang kadang tidak selalu cocok dengan budaya kita. Di sini sebagai orang tua tantangannya adalah bagaimana mengajarkan yang baik sekaligus membentengi dari budaya yang buruk. Contoh yang sederhana, budaya membuang sampah pada tempatnya akan lebih mudah diajarkan bila kita berada di lingkungan yang masyarakatnya sudah terbiasa hidup bersih, misalnya di Jepang. Budaya antri pun terlihat jelas di negara-negara yang sudah terbiasa dengan angkutan umum berbasis kereta, misal di Singapura dan Malaysia khususnya KL. Namun sebenarnya yang terberat adalah menyaring budaya yang buruk yang banyak terdapat di tempat wisata, misalnya dugem dan mabuk-mabukkan. Sekarang Oliq memang masih terlalu kecil, namun sebisa mungkin kami menghindari paparan langsung dengan budaya seperti itu. Untungnya saya dan Olen sendiri bukan tipe yang suka hiburan malam, jadi semoga saja ke depannya Oliq juga bisa terjaga.

De Bijnkorf mall penyelamat kami di Amsterdam
disini “sampah” yang terlihat hanyalah kotoran burung

8. Ibadah kapan pun dimana pun

Bagi kami yang muslim, tentunya sholat tak boleh ditinggalkan termasuk saat berjalan-jalan. Saat di pesawat, tak jarang kami lebih memilih tayamum dengan pertimbangan keterbatasan air di toilet pesawat, untuk kemudian sholat sambil duduk di kursi. Ini adalah pelajaran langsung bagi Oliq, tak heran seringkali dia menirukan gerakan tayamum dan sholat kalau sedang duduk di pesawat. Di tempat-tempat yang tak ada mushola, kerap kali kami sholat di lapangan terbuka dengan hanya beralaskan jarik yang dipakai buat menggendong Oliq. Harapan kami jelas, Oliq akan mengerti bahwa sholat memang tak boleh ditinggalkan apapun kondisinya. Tantangan lain adalah mencari makanan halal di tempat yang muslim adalah minoritas. Yang pasti, babi dan binatang yang jelas diharamkan harus selalu dihindari. Nah kalau untuk sapi atau ayam yang kadang kita ragu apakah disembelih dengan nama Allah, saya biasanya mengirisnya dan memakannya dengan mengucap basmallah. Tapi kalau masih ragu, lebih baik makan sayur dan seafood saja yang jelas halal. Dengan membawa anak-anak, kita harus benar-benar menjaga asupan makanan agar tak ada makanan haram yang dimakan oleh anak-anak kita.

9. Berani mengambil pilihan dan resikonya.

Buat saya, dalam backpacking terkandung pelajaran berharga dalam keberanian mengambil pilihan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang terlalu nyaman, dari kecil diberi fasilitas enak, sekolah tinggal masuk SD favorit, tak perlu banyak berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, biasanya akan kesulitan ketika dihadapkan pada situasi dia harus mengambil pilihan. Dari pengalaman saya pribadi, banyak orang-orang pintar lulusan perguruan tinggi ternama, seringkali tak mampu mengambil pilihan sulit dan pada akhirnya hanya berputar-putar saja alias mbulet sambil mengandalkan bawahannya atau orang lain. Giliran pilihannya salah, dia sibuk mencari-cari pembenaran atau menyalahkan orang lain. Backpacking adalah salah satu sarana melatih keberanian anak mengambil pilihan. Dalam kasus yang lebih ekstrim, misalnya ekspedisi naik gunung yang mengambil waktu berhari-hari, kesalahan mengambil keputusan bisa berakibat fatal. Namun, kalau sekedar jalan-jalan backpakcing, setidaknya resiko salah mengambil keputusan tidak terlalu fatal, jadi ini akan melatih insting anak dalam memperbaiki situasi. Contoh paling gampang adalah ketika kesasar entah karena salah membaca peta atau salah mengambil jurusan bus. Backpacker dituntut untuk tidak panik sambil tetap mencari jalan yang benar, atau terpaksanya kembali ke tempat semula. Mental tidak mudah panik ini tidak mudah dibangun dan akan lebih mudah dibentuk dengan pengalaman pribadinya dibimbing orang tuanya.

Bagi saya dan Olen, menjadi orang tua yang gemar jalan-jalan adalah sebuah proses pembelajaran yang tidak pernah terhenti. Kami masih belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik untuk Oliq. Tulisan ini pun bukan berarti kami sudah pakar karena faktanya kami pun masih sering kesulitan menghadapi Oliq yang sudah mulai besar dan bandel, namun masih manja. Apa yang saya sampaikan hanyalah sekedar keinginan untuk berbagi khususnya pada orang tua muda, agar mereka tidak takut dan ragu dalam mengajak anak-anaknya menyaksikan dunia luar dengan segala keindahannya. Awalnya memang terasa repot, namun yakinlah bahwa itu adalah investasi berharga yang hasilnya akan Anda rasakan di masa datang. Selamat backpacking untuk para ayah – bunda dan si kecil.

Perjalanan Tangguh Si Gembolan


“Kalian gila!” kata dr Sadina, dokter kandungan saya di Jakarta.

Hari terakhir periksa itu kandungan saya sudah sekitar 8,5 bulan. Dokter Sadina bertanya, saya mau melahirkan di mana, dan kami jawab di Yogya. “Terus pulang ke Yogya naik apa? Naik pesawat kan udah nggak bisa,” tanya dokter kami yang baik hati itu. Selain usia kandungannya sudah tua, kebetulan hamilnya juga besar sekali, jadi tidak mungkin kalau harus pura-pura hamil sebelum 7 bulan – usia kandungan maksimal sesuai peraturan maskapai.

“Terus, mau ke Yogya kapan?”

“Dua minggu lagi,” kata Puput, suami saya.

“Wong edan. Buruan aja pulangnya. Nanti kalau mbrojol di jalan, piye?”

Read more

1378104159455673702

Traveling dengan Anak-Anak Part 20: Ngajak Anak ke Museum? Boleh, asal…


Alangkah baiknya bila orangtua sudah mulai mengajak anaknya mencintai sejarah dan budaya sejak dini. Saya pun berusaha demikian, walaupun tidak selalu sukses. Tidak semua museum ramah anak. Kebanyakan – jujur saja – membosankan terutama bagi anak-anak.

Di Indonesia, Oliq baru belum banyak berkunjung ke Museum. Maklum saja bapak dan simboknya lebih senang ngajak dia liburan ke lokasi-lokasi yang berdekatan dengan alam, misalnya pantai, gunung, selain juga telusur candi.

Salah satu museum yang pernah kami kunjungi adalah Museum Gunung Merapi di Jogja, yang sayangnya pada saat itu hampir tutup. Jadilah Puput saja yang masuk dan mengambil foto. Saya dan Oliq menunggu di mobil karena anaknya juga sedang tidur.

Di Museum Satria Mandala Jakarta
Di Museum Satria Mandala Jakarta

Nah, museum berikutnya, sejauh ini adalah museum terkecil yang pernah ia kunjungi – namun favoritnya – adalah Museum Satria Mandala di Jl Gatot Subroto, Jakarta. Bagaimana tidak menjadi favorit, belum masuk juga sudah disuguhi beberapa pesawat terbang. Oliq terobsesi dengan pesawat terbang sejak usia belum genap 1 tahun (dia punya mainan dan miniatur pesawat terbang lebih dari 50 buah, mulai dari yang harganya 2.000 rupiah sampai 24 euro.

Di museum ini anak-anak memang bisa berlarian di halaman rumputnya. Sayangnya, pesawat terbang yang dipajang tidak bisa dinaiki. Sebenarnya kami sudah beberapa kali mau ke Museum Dirgantara Adisutjipto yang sangat lengkap, sayangnya belum juga kelakon. Padahal itu tempat studi ekskursi saya ketika TK.

Museum lain yang kami kunjungi adalah Museum Tsunami di Aceh. Bagian luarnya luas jadi cocok juga untuk membawa anak-anak, ada beberapa fitur yang interaktif.

Waktu umrah, kami juga dibawa ke Museum Makkah tapi tidak lama. Hanya putar-putar, foto-foto. Oliq juga belum bisa jalan jadi adem ayem digendong saja.

Oliq dan Puput di Museum Makkah
Oliq dan Puput di Museum Makkah

Terjadi kecelik yang sangat besar waktu mau ke Museum Anime Suginami di Ogikubo, Tokyo. Kami dengan pedenya ke sana tanpa memperhatikan brosur. Senin tutup! Untungnya cukup terhibur dengan sebuah kuil kecil di seberangnya. Setelah itu mengalami nggonduk lagi karena kesasar waktu menuju ke apartemen sewaan di Nishi-Ogikubo. Kaki saya sampai hampir prothol.

Perasaan bercampur-baur (maksudnya mixed feeling) saya mengenai membawa anak ke museum terjadi di Belanda. Saat itu kami berada di Rijksmuseum yang memamerkan berbagai lukisan karya pelukis ternama. Alkisah, Oliq tiba-tiba lari menuju ke salah satu lukisan mahakarya Rembrandt (yang kebetulan dipasang cukup pendek). Tangannya yang berbalur remah-remah keripik kentang terjulur. Saya dan seorang petugas museum lari mengejar. Kalau di film-film pasti sudah dibikin adegan slow motion. Oliq mbrobos pagar sebelum akhirnya petugas berhasil menangkapnya beberapa centimeter sebelum menyentuh lukisan. Saya deg-degan setengah modyar! Langsung saya cangking anaknya. Setelah itu Continue reading Traveling dengan Anak-Anak Part 20: Ngajak Anak ke Museum? Boleh, asal…

Psikotraveling Part 2: Panik Membawa Anak Terbang?


Ketika memiliki bayi – terutama anak pertama – dan harus bepergian menggunakan pesawat terbang untuk pertama kali, wajar bila orangtua merasa khawatir, bisa jadi panik. Bahkan untuk penerbangan ke dua, ke tiga dan seterusnya pun kadang masih khawatir.

Apa sih yang dikhawatirkan? Tentu saja bila bayi menangis di dalam pesawat. Seperti yang pernah saya tulis di Traveling dengan Anak-Anak Part 1: Terbang Yuk Nak! kalau naik mobil gampang saja minta berhenti dan keluar dulu untuk menenangkan bayi, lha kalau naik pesawat apa mau minta pilot berhenti dulu?

Kekhawatiran orangtua tidak hanya berpusat pada bayinya sendiri, melainkan reaksi para penumpang sekitarnya ketika si bayi menangis. Pengalaman saya beberapa kali, bahkan banyak dari mereka yang melemparkan “dirty look” ketika melihat ada bayi di sekitar tempat duduk mereka. Banyak yang sudah berprasangka buruk, “Wah bakal berisik, nih!” Padahal belum tentu. Pengalaman saya terbang dengan anak saya, hanya sekali dua kali dia rewel (Manado-Jakarta, Jogja-Jakarta, dan dalam penerbangan Jakarta-Jeddah), itupun tidak terus menerus. Selebihnya lancar, tenang, dan damai.

Sekar, kawan sekaligus seorang psikolog, menuturkan pengalamannya terbang bersama Daniel di bawah ini:

Traveling with my small family, by that I mean: Traveling with my baby.

Setelah 9 kali perjalanan dengan pesawat, akhirnya kami mendapatkan pencerahan tentang bagaimana membuat bayi kami bahagia saat perjalanan dengan pesawat terbang. That’s all matter, isn’t it?

Percobaan pertama kami adalah perjalanan Semarang – Jakarta. Sebulan sebelum perjalanan itu dimulai, saya sudah mencari informasi tentang bagaimana membuat bayi merasa nyaman dipesawat. Ok, nyaman dalam arti tidur. Tidur berarti orang tua merasa nyaman, tenang dan tentu saja penumpang lain tidak terganggu.

Ah, ternyata caranya adalah sebelum berangkat, bayi harus aktif bergerak supaya capek, lalu dipesawat tinggal menyusu, dan tidur deh. Seems simple, heh.

Daniel duduk manis di bassinet
Daniel duduk manis di bassinet

Yeah! Simple but not for my nerves.

Continue reading Psikotraveling Part 2: Panik Membawa Anak Terbang?

Travel Light or Not? Berkemas a la Backpackologist


Saya baru saja berkemas untuk liburan akhir pekan panjang esok dan kepikiran untuk nulis tentang masalah packing ini. Sebenarnya saya dan Lala (guest blogger untuk seri Traveling dengan Anak-Anak) pernah menulis kiat-kiat Berkemas Ringkas Walau Bawa Balita. Kali ini, saya hanya menuliskan pengalaman saya packing secara umum saja.

Oliq the backpacker

Standar kami dulu sebelum punya Oliq adalah satu ransel di punggung Puput, satu ransel di punggung saya (berlaku juga waktu hamil 5 bulan saat ke India), tas kamera ransel di dada Puput, dan tas kamera cangklong di bahu saya. Kami memang bisa dikatakan penganut light travelling. Ranselnya juga ga gede-gede amat, maksimal yang 40 liter, itu sudah cukup untuk backpacking keliling Malaysia 2 minggu. Penampilan Puput persis kaya kura-kura yang lagi hamil besar!

Continue reading Travel Light or Not? Berkemas a la Backpackologist