Tag Archives: jogja

Wisata cari jodoh di Jogja, kamu harus ke sini Mblo! 


“Sik sik tak sisiran, mawut rambutku,” ucap Sipo sambil mlipir nyisir rambut sesampainya kami di Kecamatan Sewon. Loh, ada apa saya selo banget sampai Kecamatan Sewon Bantul di Minggu pagi yang cerah itu? 

Kecamatan Sewon, saksi bisu para pencari cinta
 Nah, jadi hari itu kami mau mengikuti acara Golek Garwo yang diadakan oleh Fortais yang rutin setiap bulannya. Bukan…. Bukan saya yang mau cari jodoh tapi Sipo. Sipo (bukan nama sebenarnya) adalah wanita paruh baya yang sudah ikut kerja sama mamah saya sejak saya lahir dan sejak Olen masih umbelen.

Sipo yang sedang meenunggu cinta

Sipo ini walau pendidikannya nggak tinggi tapi sangat jujur, rajin, dan aktif ngurusi Bank Sampah Ceria. Ngasuh saya sejak bayi, nemenin saya kalau sendiri di rumah, bahkan ngeneng-nengi (opo sih Boso Indonesia ne? Ngecup-cup?) pas saya diputus lewat WA. Uhuk~  

Sampai di sana saya disambut oleh Pak Ryan, beliau adalah pendiri ajang yang sangat efisien dalam mengurangi populasi kaum jomblo ini. Ternyata sudah banyak para jomblowan dan jomblowati yang menunggu pendaftaran buka. Takut jadi incaran para lelaki haus kasih sayang (Huahahaha) maka saya langsung mengalungkan ID Pers saya. Iya, saya emang sekalian liputan. 

Mulai dari anak muda, hingga orang tua bahkan mbah-mbah semua ada di sana. 
“Wah nok, akeh sing tuo-tuo yo?,” Kata Sipo sambil nyengir kuda. Usia Sipo memang udah nggak muda lagi, makanya dia mendambakan lajang atau duda yang sudah berumur. 

Saat mendaftar, peserta menyerahkan fotokopi KK/KTP, foto close up dan 3×4, serta mengisi formulir data diri lengkap dan kriteria calon yang diinginkan. Lalu membayar Rp 10.000 dan peserta akan mendapatkan daftar lawan jenis yang sudah pernah mendaftar di Golek Garwo Fortais, lengkap dengan nomor HP yang bisa dihubungi. 

Peserta ini dateng dari mana-mana lho. Juga dari berbagai latar pendidikan, mulai dari Nol pendidikan sampai S3 lulusan luar negeri! Tuh mblo, mantap kan? 
 

udah pada lirik-lirikan tuh!
 
Pukul 10 pagi, semua peserta dikumpulkan dalam aula Kecamatan Sewon tersebut. Jomblowan di sisi kanan dan Jomblowati di sisi kiri dengan posisi berhadap-hadapan. Acara diisi oleh Pak Yanto MC yang gokil abis dalam menjelaskan soal acara ini. Dilanjut dengan wejangan dari para ‘alumni’ Golek Garwo ini. Satu persatu para peserta kemudian diminta untuk memperkenalkan diri. 

Kebetulan hari itu memang banyak peserta yang sudah berumur. Cuma ada satu mas-mas yang suami-able buat saya, lelaki soleh dan seorang pengusaha kafe di daerah Palagan. Seakan hati ini menjerit, “Ajak kenalan aku mz, ajak aku ke kafemuu,” (Mentel!) 
Jadi forum ini memang nggak menjodohkan orang satu persatu. Tiap orang dibebaskan untuk berkenalan dengan siapapun. 

Nggak lama kemudian Sipo diajak kenalan sama om-om baju ungu yang udah tujuh kali dateng pertemuan tapi belum nemu jodohnya juga. Ciyeee malu-malu manjaaaahhh! (diucapin ala Syahrini) 
 

ciyeee Sipo diajak kenalan om-om baju ungu!
 
Acara ini ada tiap bulan kok, untuk bulan April akan diadakan tanggal 17. Siapa tahu belahan jiwamu lagi nunggu di Kecamatan Sewon. Saya kasih CPnya Pak Ryan nih (0815 7908232) beliau dengan senang hati akan membantu. 

Ingat Mblo, love will find you if you try! (Kemudian guling-guling bareng paku payung) 

Blusukan Jogja: Embung Sriten


Setelah status “sayur lodeh” yang dibuat Mbakyu Olen menuai kontroversi, bikin saya sadar bahwa di dunia ini banyak orang yang kurang piknik. Sehingga sayur lodeh bisa mbladrah kemana-mana. Ah biarlah itu berlalu.  So, intinya piknik itu nggak usah jauh-jauh asal bisa refresh otak. Sejak kerja, waktu luang saya cuma wiken jadilah saya bikin agenda #MingguMblusuk

Embung Sriten
Embung Sriten

Kali ini saya sm partner blusukan ke Embung Sriten 896mdpl. Tepatnya di daerah Pilangrejo, Nglipar, GunungKidul. Belom lama ini diresmikan Pak Sultan. Jalan menuju sini nggak susah, di Google map udah ada. Dari Jogja sampai Pilangrejo jalan mulusss tapi pas mulai masuk desa yang nanjak,  di sinilah dzikir dimulai.  Continue reading Blusukan Jogja: Embung Sriten

Terios 7 Wonders : Mengenang Kemegahan dan Kearifan Merapi


Bagi masyarakat Yogyakarta, Gunung Merapi memiliki arti tersendiri. Mulai dari mitos garis lurus dari Merapi, Tugu, Keraton, hingga Parangtritis, hingga fakta bahwa tanah di lereng Merapi memang benar-benar subur, Merapi menjadi sebuah sosok yang dihormati.

merapi
Puncak Merapi sebelum letusan tahun 2006, dilihat dari pos pengamatan Babadan

Continue reading Terios 7 Wonders : Mengenang Kemegahan dan Kearifan Merapi

Mendaki Gunung Api Purba Nglanggeran


Gunungkidul tidak hanya memiliki wisata pantai. Salah satu yang sedang naik daun sekarang ini adalah Nglanggeran, terletak di Patuk, tidak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta. Penelitian mengungkapkan bahwa Nglanggeran dulunya adalah gunung berapi aktif. Kini, kombinasi antara susunan material vulkanik purba dengan bentang alam hijau menjadikannya primadona pariwisata.
Petunjuk arah jalur pendakian di Nglanggeran. (Yahoo Indonesia/Olenka Priyadarsani)
Saya berangkat pagi hari dari Yogyakarta menuju ke Jalan Wonosari, sebuah jalan mendaki dan berliku yang kian hari kian ramai, terutama karena wisata di kawasan ini semakin berkembang. Walaupun berliku dan ramai – terutama saat akhir pekan dan liburan – akses ke arah Wonosari lancar karena jalan yang mulus dan senantiasa diperbaiki oleh pemerintah daerah.

Tidak seperti pantai-pantai Gunungkidul yang rata-rata berjarak 60-70 km dari Yogya, Nglanggeran paling hanya separuhnya. Tidak jauh dari perbatasan antara Bantul dan Gunungkidul, saya membelok ke kiri sesuai dengan petunjuk arah yang terdapat di tepi jalan. Dari jalan utama ini, jaraknya sekitar 7 km. Saya melewati desa-desa yang masih asri di tengah sawah dan kebun.

Begitu tiba di dekat tujuan, terbentang panorama yang menakjubkan. Gunung Api Nglanggeran dari jauh terlihat seperti susunan batu-batu raksasa berwarna keabu-abuan. Di kanan kirinya sawah menghijau – dan tentu saja menara-menara operator telepon seluler.

Tiket masuk ke kawasan wisata ini sangat murah, saat itu hanya Rp3.000 untuk siang hari dan Rp5.000 untuk malam hari. Di bagian depan terdapat pendopo yang sering digunakan sebagai tempat istirahat dan makan siang.
Tangga kayu dan bambu disediakan pengelola untuk mempermudah langkah wisatawan. (Yahoo Indonesia/Olenka Priyad …
Jangan bandingkan Nglanggeran dengan gunung-gunung berapi yang masih aktif. Gunung api purba ini hanya memiliki puncak setinggi 700 meter di atas permukaan laut. Sementara di bagian dasarnya pun sudah 200 mdpl, jadi saya hanya mendaki 500 meter hingga ke puncak. Tergantung stamina kita berapa lama sampai ke puncak. Apabila tidak sanggup pun masih ada beberapa titik pendakian di mana wisatawan bisa berhenti dan menikmati pemandangan.

Untuk sebagian jalur pendakian, terutama di bagian bawah, sudah dibangun tangga oleh pihak pengelola. Asyiknya, saya harus melewati jalan di bawah batu yang berbentuk seperti gua. Ada juga titik-titik di mana saya harus mendaki menggunakan tali yang sudah disediakan oleh pengelola. Ada juga lokasi di mana kita harus melompati celah sempit.
Bentang alam Gunungkidul terlihat dari atas. (Yahoo Indonesia/Olenka Priyadarsani)
Kebanyakan pengunjung berhenti di puncak pertama atau ke dua karena makin ke atas medannya memang makin berat. Saya juga sempat berhenti beberapa kali untuk mengatur napas dan meluruskan kaki yang pegal. Dari puncak pemandangan memang menakjubkan. Gunungkidul yang dulunya dikenal sebagai daerah kering kini tambak subur dan ijo royo-royo.

Gunung terbesar yang ada di Nglanggeran adalah Gunung Gede. Di sinilah terdapat puncak tertinggi. Selain itu ada pula Gunung Tlogo Mardidho yang dihuni oleh tujuh keluarga. Menurut kepercayaan, di dusun ini memang hanya boleh ditinggali oleh tujuh keluarga, tak kurang dan tak lebih. Bila ada yang menikah dan membentuk keluarga baru, harus meninggalkan dusun untuk tinggal di tempat lain bila tidak ingin ada bencana terjadi.

Seperti halnya banyak tempat di Jawa, Gunung Api Purba Nglanggeran pun menyimpang banyak misteri dan mitos yang masih dipercayai oleh penduduk setempat. Mitos-mitos ini banyak berkaitan dengan tokoh-tokoh pewayangan.

Nglanggeran sebenarnya paling cocok dikunjungi saat matahari terbit, sayangnya saya kesiangan. Walaupun masih cukup pagi, namun matahari sudah terik membakar tubuh. Ketika turun dari gunung, saya sempat bercakap-cakap dengan petugas jaga.

“Ini sudah terlalu terang, Mbak. Kalau mau foto, paling bagus harus dari embung,” katanya.

Ternyata ada sebuah embung (waduk) yang berada 1,5 km arah tenggara kawasan wisata Nglanggeran. Jalannya kadang-kadang berlubang namun mudah untuk dilalui oleh kendaraan roda empat. Di sekitar embung ini sudah mulai ditanami kebun beragam buah-buahan. Idenya adalah mengubah kawasan ini menjadi seperti Taman Buah Mekarsari. Memang masih butuh beberapa tahun agar pohon-pohon di lahan seluas 20 hektar itu besar dan berbuah lebat.

Dari sekitar embung ini jajaran Gunung Api Nglanggeran memang terlihat jelas secara keseluruhan. Matahari yang kebetulan saat itu sangat terik justru mengaburkan pandangan karena terlalu menyilaukan. Di kawasan embung sudah terdapat lapangan parkir yang besar dengan beberapa warung yang menjual makanan ringan dan minuman botol.

Saya memilih untuk duduk berteduh di salah satu warung, menyaksikan pemandangan Nglanggeran sambil menikmati segelas manisnya es dawet.

Baca juga cerita perjalanan Olenka lainnya di backpackology.me

Dari Kebun Tebu ke Eropa


Usai shalat Subuh di Masjid Muhajirin, selalu saja terdengar nyaring suara petasan di segala penjuru. Tak jarang saya terlonjak kaget bila petasan yang dibunyikan hanya satu dua meter jaraknya. Kami – termasuk Puput dan saya – anak-anak perumahan biasanya lalu melanjutkan pagi bulan puasa kami dengan berjalan menyusur kebun tebu, sawah, dan ladang ilalang ke Kali Mancasan. Itu sekitar seperempat abad yang silam.

Bukti otentik saya pernah lebih tinggi (1993)
Bukti otentik saya pernah lebih tinggi (1993)

Kini, tidak ada lagi ceritanya tentang kebun tebu yang sangat lebat dan luas. Tidak ada lagi cerita tentang anak-anak seperti kami yang mencuri tebu hingga dikejar-kejar mandor.

Dulu, sepulang dari bermain di Kali Mancasan – mencari cethul, perosotan di tanggul hingga celana berlubang – kami akan pulang bersama-sama. Kadang ada rombongan pekerja bersepeda yang rela diboncengi anak-anak perempuan. Sekarang, mana ada pekerja yang bersepeda kalau motor matic saja bisa dibawa pulang hanya dengan 500 ribu?

Dulu kali Mancasan asri, sepi, airnya jernih. Kini, kantor pajak berdiri megah di seberang. Di sebelahnya terdapat sebuah tempat spa besar. Di sisi baratnya terdapat perumahan mewah, mungkin dengan embel-embel river view untuk meningkatkan daya jualnya.

Betapa cepat duapuluh lima tahun berlalu.

Kali Mancasan dulu jadi tempat main favorit saya dan Puput, beserta banyak teman sebaya kami seperti Iyok, Fendit, Encis, dan Donal. Encis sekarang bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi di Makassar. Kakaknya, Fendit, entah berada di mana. Donal pun tidak terdengar kabarnya setelah keluarganya pindah rumah. Iyok sudah beranak dua, kami masih sering bertemu karena orangtua bertetangga. Saya dan Puput malah menikah – lebih dari dua dekade kemudian. Siapa yang menyangka? Kami pun tidak.

Saya tidak punya masa kecil yang sangat istimewa dengan berlibur ke mana-mana bersama orangtua. Paling sering ke Cirebon tempat Mama berasal, atau ke Jombang – kampung Papa. Biasanya hanya naik kereta ekonomi, pernah juga naik motor. Liburan paling sering saat kecil ya cuma ke Kebun Binatang Gembiraloka. Itu sudah yang paling top di Jogja kala itu. Masih untung sering diadakan jalan-jalan RT ke Kyai Langgeng, Kopeng, Pantai Ayah, Gua Jatijajar, atau ke candi-candi kecil sekitar Prambanan.

Saya tidak ingat apakah Puput pernah ikut piknik RT, kalau ditanya saya tidak yakin orangnya ingat. Yang jelas, wisata pertama kami bersama adalah ke Tawangmangu saat perpisahan SD.

Masa kecil itu bukan hanya kenangan. Masa kecillah yang menjadikan kita seperti sekarang. Petualangan kecil menembus kebun tebu, menyusuri Kali Mancasan hingga ke Tambakboyo, ataupun bermain-main di Kali Leles hingga menjelang Maghrib berperan dalam membentuk jiwa pejalan saat ini. Membentuk orang-orang yang punya “bokong gatel” bila terlalu lama di rumah.

Di Ho Chi Minh City, Vietnam
Di Ho Chi Minh City, Vietnam

Bahkan sebelum “reconnect” kami berdua sudah sering jalan-jalan sendiri. Ketika akhirnya menikah, cincin kawin lupa dibeli pun tak masalah, selama tiket bulan madu sudah di tangan. Upacara pernikahan berlangsung sederhana karena kami enggan dengan tetek bengek mengurus pernikahan. Baju pengantin pun beli jadi. Bahkan siang lepas akad dan resepsi kecil-kecilan ketika tamu masih ada kami terpaksa pamit untuk mengejar pesawat.

Masa kecil pun terulang kembali di sini. Petualangan bersama dimulai lagi. Mengejar mimpi.

Dari Condongcatur ke Paris
Dari Condongcatur ke Paris

Dari kebun tebu ke Eropa. Dari Mancasan ke Jepang. Dari Masjid Muhajirin ke Baitullah.

Tulisan singkat ini dibuat sebagai syukuran facelift (walau belum 100%) Backpackology, sebagai anak ke dua kami. Semoga ke depannya makin banyak cerita yang bisa dibagi dengan kawan-kawan pejalan semua.