Seorang ibu berusaha mengendalikan mobilnya, menuju ke parkiran. Juru parkir heboh mengganjal ban belakang mobil dengan batu besar. Maklum saja, tanjakannya terjal, sementara mobil mengantre masuk ke lokasi parkir. Sepanjang jalan pun berjajar mobil parkir, semua diganjal batu.
Dulu Candi Ijo tak begini. Empat tahun silam kami datang ke candi ini. Sepi, hanya sekelompok (yang sepertinya) mahasiswa dan sepasang muda-mudi yang bergaya pre-wed. Waktu itu masuknya gratis, ada box donasi, hanya wajib lapor penjaganya dan menulis buku tamu.
Sekarang ramai sampai susah mau dapat foto bagus
Syahdu. Hening. Sepi. Hanya kicau burung dan sesekali suara pesawat terbang dari dan ke Adisutjipto.
Bagaimana tidak makin seksi, dinding-dinding tebing kelabu pucat itu kini dipercantik dengan ukiran-ukiran. Relief-relief kisah pewayangan. Sementara itu, Sang Merah Putih berkibar di setiap sisi. Nasionalis tradisionalis. Modern dan masa lampu. Kekinian dan kekunoan.
***
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih menulis untuk Yahoo Indonesia, saya pergi menyambangi Candi Ijo. Candi ini berada di Bukit Ijo, merupakan wilayah cagar budaya. Keberadaan Bukit Ijo, yang berada di ujung timur Kabupaten Sleman ini konon menjadi (salah satu) alasan mengapa landas pacu Bandara Adisutjipto tidak dapat diperpanjang. Hence, bandara pun menjadi tidak dapat diperbesar karena ada sungai di sisi barat.
Taman Tebing Breksi
Kala itu, dalam perjalanan saya melewati sebuah bukit batu besar. Truk-truk keluar masuk sekitar bukit membawa bongkahan-bongkahan batu besar. “Woh, ada tambang batu, pantes jalannya jelek. Nggak kaya jalan di Jogja,” kata Puput pada saya. Memang, bila dibandingkan jalan lain di sekitar Sleman — bahkan di sekitar Bukit Ijo sendiri — jalan menuju Candi Ijo terbilang buruk. Berlubang di sana-sini, walau mungkin hanya 1-2 kilometer saja. Continue reading Si Tebing Breksi yang Makin Seksi→
“Sik sik tak sisiran, mawut rambutku,” ucap Sipo sambil mlipir nyisir rambut sesampainya kami di Kecamatan Sewon. Loh, ada apa saya selo banget sampai Kecamatan Sewon Bantul di Minggu pagi yang cerah itu? Kecamatan Sewon, saksi bisu para pencari cinta Nah, jadi hari itu kami mau mengikuti acara Golek Garwo yang diadakan oleh Fortais yang rutin setiap bulannya. Bukan…. Bukan saya yang mau cari jodoh tapi Sipo. Sipo (bukan nama sebenarnya) adalah wanita paruh baya yang sudah ikut kerja sama mamah saya sejak saya lahir dan sejak Olen masih umbelen.
Sipo yang sedang meenunggu cinta
Sipo ini walau pendidikannya nggak tinggi tapi sangat jujur, rajin, dan aktif ngurusi Bank Sampah Ceria. Ngasuh saya sejak bayi, nemenin saya kalau sendiri di rumah, bahkan ngeneng-nengi (opo sih Boso Indonesia ne? Ngecup-cup?) pas saya diputus lewat WA. Uhuk~
Sampai di sana saya disambut oleh Pak Ryan, beliau adalah pendiri ajang yang sangat efisien dalam mengurangi populasi kaum jomblo ini. Ternyata sudah banyak para jomblowan dan jomblowati yang menunggu pendaftaran buka. Takut jadi incaran para lelaki haus kasih sayang (Huahahaha) maka saya langsung mengalungkan ID Pers saya. Iya, saya emang sekalian liputan.
Mulai dari anak muda, hingga orang tua bahkan mbah-mbah semua ada di sana.
“Wah nok, akeh sing tuo-tuo yo?,” Kata Sipo sambil nyengir kuda. Usia Sipo memang udah nggak muda lagi, makanya dia mendambakan lajang atau duda yang sudah berumur.
Saat mendaftar, peserta menyerahkan fotokopi KK/KTP, foto close up dan 3×4, serta mengisi formulir data diri lengkap dan kriteria calon yang diinginkan. Lalu membayar Rp 10.000 dan peserta akan mendapatkan daftar lawan jenis yang sudah pernah mendaftar di Golek Garwo Fortais, lengkap dengan nomor HP yang bisa dihubungi.
Peserta ini dateng dari mana-mana lho. Juga dari berbagai latar pendidikan, mulai dari Nol pendidikan sampai S3 lulusan luar negeri! Tuh mblo, mantap kan? udah pada lirik-lirikan tuh!
Pukul 10 pagi, semua peserta dikumpulkan dalam aula Kecamatan Sewon tersebut. Jomblowan di sisi kanan dan Jomblowati di sisi kiri dengan posisi berhadap-hadapan. Acara diisi oleh Pak Yanto MC yang gokil abis dalam menjelaskan soal acara ini. Dilanjut dengan wejangan dari para ‘alumni’ Golek Garwo ini. Satu persatu para peserta kemudian diminta untuk memperkenalkan diri.
Kebetulan hari itu memang banyak peserta yang sudah berumur. Cuma ada satu mas-mas yang suami-able buat saya, lelaki soleh dan seorang pengusaha kafe di daerah Palagan. Seakan hati ini menjerit, “Ajak kenalan aku mz, ajak aku ke kafemuu,” (Mentel!)
Jadi forum ini memang nggak menjodohkan orang satu persatu. Tiap orang dibebaskan untuk berkenalan dengan siapapun.
Nggak lama kemudian Sipo diajak kenalan sama om-om baju ungu yang udah tujuh kali dateng pertemuan tapi belum nemu jodohnya juga. Ciyeee malu-malu manjaaaahhh! (diucapin ala Syahrini) ciyeee Sipo diajak kenalan om-om baju ungu!
Acara ini ada tiap bulan kok, untuk bulan April akan diadakan tanggal 17. Siapa tahu belahan jiwamu lagi nunggu di Kecamatan Sewon. Saya kasih CPnya Pak Ryan nih (0815 7908232) beliau dengan senang hati akan membantu.
Ingat Mblo, love will find you if you try! (Kemudian guling-guling bareng paku payung)
Dulu, setiap ulang tahun desa Condong Catur, pasar malam selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu para warganya untuk berwisata, entah sekedar jajan cemilan, coba-coba wahana, hingga beli mainan anak yang saat itu rasanya masih sangat mewah. Condong Catur masih sebuah perumnas menengah ke bawah yang diapit kebun tebu dan sawah di sekelilingnya. Pada masa itu, belum ada mall di Jogja. Gardena di Jalan Solo dan Ramai di Malioboro masih menjadi toko paling beken di masanya. Sekaten juga masih selalu ditunggu-tunggu masyarakat Jogja meski tiap tahun isinya itu-itu saja.
Pasar malam menyambut hari jadi desa Condong Catur, tetap meriah di tengah gempuran mall di yogyakarta
Kalau Anda mencari sesuatu yang unik dari kota Jogja, wisata pasar bisa jadi satu pilihan. Yang paling mainstream pastinya Pasar Beringharjo, tapi kalau Anda mencari yang anti mainstream, salah satu pilihan adalah Pasar Hewan Godean. “Kok Godean, bukan PASTY alias Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta yang ex Pasar Ngasem?” Sekali lagi, kalau mencari sesuatu yang anti mainstream, sepatutnya mencoba menelusuri Pasar Hewan Godean.
Pasar hewan Godean, ada di ujung Pasar Godean tiap hari pasaran Pon
Pasar Hewan Godean sebenarnya bukan pasar khusus hewan seperti PASTY, pasar ini sendiri sebenarnya merupakan bagian dari Pasar Godean. Dari Tugu, Anda tinggal ke arah barat terus sampai perempatan ring road, lalu lurus terus sampai pertigaan lampu merah kedua, Anda akan dengan mudah menjumpai pasar persis di pertigaan lampu merah. Pasar Godean sendiri cukup tersohor sebagai pusat jajanan keripik belut. Pasar Godean sendiri buka tiap hari layaknya pasar tradisional, namun pasar hewannya hanya buka tiap hari pasaran jawa Pon. Jadi pastikan Anda datang pada hari Pon kalau memang mau melihat suasana pasar hewan.
Kandang-kandang burung dijejer di pinggir Jalan Raya Godean, menambah semarak suasana Pasar Hewan Godean
Di pinggir jalan raya Godean sudah tampak suasana pasar hewan pada hari pasaran Pon. Bakul-bakul burung sudah membuka lapaknya di pinggir jalan persis. Burung yang dijual seperti umumnya burung-burung peliharaan yang memang banyak dicari warga Jogja penggemar burung berkicau. Kandang berbagai hewan seperti burung dan ayam turut dijajakan di situ. Tapi pusat keramaian bukan di pinggir jalan persis, tapi di salah satu sudut Pasar Godean. Di lokasi itu, mayoritas penjual adalah pedagang ayam berbagai jenis dan ukuran, ada ayam jawa maupun Bangkok, dari yang masih kuthuk alias anak ayam sampai yang besar siap disembelih.
Pedagang menggelar lapak begitu saja di pinggir jalan, kadang hewan dagangan dipangku layaknya anak kesayangan, unik dan hangat dari Pasar Hewan Godean
Di Pasar Hewan Godean, kebanyakan yang dijual adalah hewan untuk diternakkan dan dimakan, seperti ayam, bebek, menthog, kelinci, dan lele. Di sini penjual tidak menempati kios, melainkan hanya sekedar nongkrong di pinggir jalan sambil menggelar dagangan dalam kurungan atau dalam keranjang bamboo.
Bebek-bebek ikut majang menjajakan dirinya di Pasar Hewan Godean
Masuk lagi lebih jauh, Anda akan menemukan tak hanya penjual hewan, namun juga pedagagang parang dan arit / clurit. Uniknya, pedagang parang ini tak sekedar jualan, namun sekaligus membuatnya alias pande besi. Di kiosnya yang sederhana, dua orang pande besi sibuk membakar besi bahan baku parang, lalu menempanya setelah besi merah membara, sementara hasil karyanya langsung dipajang dan siap dijual.
Tak hanya hewan, Anda juga bisa menemukan pedagang clurit sekaligus pande besi, hanya di Pasar Hewan Godean
Tak jauh dari lapak pande besi, saya berjumpa pedagang pakaian bekas. Di lapak ini, pakaian cuma ditumpuk begitu saja dan pembeli dipersilahkan mengubek-ubek dan memilih sendiri. Lalu di sebelahnya ada pedagang perkakas tukang, kalau yang ini cukup umum dan tidak terlalu unik.
Pedagang baju bekas juga turut menempati lapak Pasar Hewan Godean, sangat membantu rakyat kecil yang benar-benar membutuhkan
Lanjutkan langkah kaki, Anda akan berjumpa pedagang ikan di dalam kios. Di sini ikan yang dijual kebanyakan ikan untuk konsumsi seperti lele dan gurameh. Lele tersedia dari ukuran bayi, remaja, sampai dewasa yang siap panen.
Pedagang ikan menempati lapak khusus yang beratap, umumnya ikan-ikan yang biasa dimakan, bukan ikan hias, ada di Pasar Hewan Godean
Tak jauh dari pedagang ikan, Anda akan menemukan lapak khusus sepeda onthel alias pit onta. Puluhan sepeda onthel tua dipajang di sini, penjualnya kebanyakan bapak-bapak tua. Sepedanya pun yang masih klasik dan orisinil, bukan yang sudah dicat ulang dan diganti ban warna putih. Kadang ada juga sepeda onthel yang dilengkapi gir layaknya sepeda balap. Di sini memang termahsyur sebagai pasar onthel perorangan, jadi memang penjualnya bukan pedagang besar yang memiliki puluhan sepeda dan kios sendiri, melainkan perorangan yang memang berniat menjual sepedanya. Di seberang lapak sepeda onthel, ada bapak tua yang menjajakan onderdil sepeda onthel yang mungkin jarang Anda lihat di tempat lain.
Sepeda onthel alias pit onta juga salah satu barang dagangan unik di Pasar Hewan Godean
Langkahkan kaki lagi, Anda akan berjumpa warung makan kecil yang sederhana namun terasa hangat. Di ujung deretan kios, Anda akan berjumpa dengan penggilingan daging yang mengolah daging mentah menjadi bakso dan olahan lainnya. Suara mesin penggilingan akan terdengar lantang dari jalan antara kios. Sementara itu, para pembeli setia menunggu di luar, sepertinya para pedagang bakso yang memang kulakan bakso di sini.
Lapak penggilingan daging sekaligus pembuat bakso, sudah menjadi langganan para tukang bakso di Yogyakarta, ada di Pasar Hewan Godean
Suasana pasar ndeso masih sangat kental di sini, sangat khas sekaligus ngangenin. Pasarnya terasa sederhana, pedagang dan pembelinya pun bersahaja, atmosfirnya sangat membumi. Oya, pulang dari pasar ini saya membawa 4 kelinci muda, 8 ayam remaja, dan 4 kg lele remaja. Satu kelinci ditebus 40 ribu, sementara 8 ekor ayam dijual 90 ribu, dan satu kg lele dihargai 25 ribu.
Trewelu alias kelinci lucu ini juga bisa didapati di Pasar Hewan Godean
Tidak terlalu murah memang, lele harganya sama dengan di PASTY, namun tak apalah demi ekonomi rakyat kecil seperti pedagang hewan ini terus berputar. So, kalau pengen jalan-jalan yang lain dari biasanya, cobalah mampir ke Pasar Hewan Godean. Oya, satu lagi, hampir semua pedagang dan pembeli di pasar ini adalah perokok berat, jadi kepulan asap rokok ada di mana-mana, tidak disarankan membawa anak kecil atau yang alergi dengan asap rokok. Selamat berburu keunikan di sudut lain kota Yogyakarta.
An Indonesian family backpacker, been to 25+ countries as a family. Yogyakarta native, now living in Crawley, UK. Author of several traveling books and travelogue. Owner of OmahSelo Family Guest House Jogja. Strongly support family traveling with kids.