You can’t go wrong with jarik batik -Backpackology
Hari itu suhu Melbourne mencapai 40 derajat Celcius. Terik membakar kulit yang sebenarnya sudah terlalu familiar dengan panas. Saya dan suami terpaksa mengibarkan bendera putih melawan panasnya Melbourne di bulan Januari. Kami menyerah, kalah, bersimbah peluh menuju oase terdekat, yaitu keran air di Shrine of Remembrance — sebuah monumen bersejarah di pusat kota. Lantas, kami menggelar jarik batik yang biasanya untuk menggendong Oliq (saat itu usia 6 bulan), di atas rumput. Jarik batik menjadi alas duduk.
Setelah bolos mengikuti Turnamen Foto Perjalanan (TFP) kira-kira 30 edisi, eh Simbok terinspirasi sekali dengan tema kali ini. Langit biru. Bagaimana tidak, kalau banyak orang mengidolakan pemandangan matahari terbenam, saya paling cinta dengan pemandangan langit warna biru cerah.
Waktu tinggal di Jakarta, pemandangan langit biru terlalu langka. Cantiknya angkasa tertutup kelam kabut durjana ibukota #halaaaahhhh mbooook!!!! Pokoknya, saya paling senanglah nemu pemandangan dengan langit biru, apalagi yang bersih tanpa mega.
Sebenarnya stok foto langit biru sangat banyak, tapi kok harus ngubek-ubek beberapa HDD, bikin males juga. Ini ada beberapa favorit saya:
Usai shalat Subuh di Masjid Muhajirin, selalu saja terdengar nyaring suara petasan di segala penjuru. Tak jarang saya terlonjak kaget bila petasan yang dibunyikan hanya satu dua meter jaraknya. Kami – termasuk Puput dan saya – anak-anak perumahan biasanya lalu melanjutkan pagi bulan puasa kami dengan berjalan menyusur kebun tebu, sawah, dan ladang ilalang ke Kali Mancasan. Itu sekitar seperempat abad yang silam.
Bukti otentik saya pernah lebih tinggi (1993)
Kini, tidak ada lagi ceritanya tentang kebun tebu yang sangat lebat dan luas. Tidak ada lagi cerita tentang anak-anak seperti kami yang mencuri tebu hingga dikejar-kejar mandor.
Dulu, sepulang dari bermain di Kali Mancasan – mencari cethul, perosotan di tanggul hingga celana berlubang – kami akan pulang bersama-sama. Kadang ada rombongan pekerja bersepeda yang rela diboncengi anak-anak perempuan. Sekarang, mana ada pekerja yang bersepeda kalau motor matic saja bisa dibawa pulang hanya dengan 500 ribu?
Dulu kali Mancasan asri, sepi, airnya jernih. Kini, kantor pajak berdiri megah di seberang. Di sebelahnya terdapat sebuah tempat spa besar. Di sisi baratnya terdapat perumahan mewah, mungkin dengan embel-embel river view untuk meningkatkan daya jualnya.
Betapa cepat duapuluh lima tahun berlalu.
Kali Mancasan dulu jadi tempat main favorit saya dan Puput, beserta banyak teman sebaya kami seperti Iyok, Fendit, Encis, dan Donal. Encis sekarang bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi di Makassar. Kakaknya, Fendit, entah berada di mana. Donal pun tidak terdengar kabarnya setelah keluarganya pindah rumah. Iyok sudah beranak dua, kami masih sering bertemu karena orangtua bertetangga. Saya dan Puput malah menikah – lebih dari dua dekade kemudian. Siapa yang menyangka? Kami pun tidak.
Saya tidak punya masa kecil yang sangat istimewa dengan berlibur ke mana-mana bersama orangtua. Paling sering ke Cirebon tempat Mama berasal, atau ke Jombang – kampung Papa. Biasanya hanya naik kereta ekonomi, pernah juga naik motor. Liburan paling sering saat kecil ya cuma ke Kebun Binatang Gembiraloka. Itu sudah yang paling top di Jogja kala itu. Masih untung sering diadakan jalan-jalan RT ke Kyai Langgeng, Kopeng, Pantai Ayah, Gua Jatijajar, atau ke candi-candi kecil sekitar Prambanan.
Saya tidak ingat apakah Puput pernah ikut piknik RT, kalau ditanya saya tidak yakin orangnya ingat. Yang jelas, wisata pertama kami bersama adalah ke Tawangmangu saat perpisahan SD.
Masa kecil itu bukan hanya kenangan. Masa kecillah yang menjadikan kita seperti sekarang. Petualangan kecil menembus kebun tebu, menyusuri Kali Mancasan hingga ke Tambakboyo, ataupun bermain-main di Kali Leles hingga menjelang Maghrib berperan dalam membentuk jiwa pejalan saat ini. Membentuk orang-orang yang punya “bokong gatel” bila terlalu lama di rumah.
Di Ho Chi Minh City, Vietnam
Bahkan sebelum “reconnect” kami berdua sudah sering jalan-jalan sendiri. Ketika akhirnya menikah, cincin kawin lupa dibeli pun tak masalah, selama tiket bulan madu sudah di tangan. Upacara pernikahan berlangsung sederhana karena kami enggan dengan tetek bengek mengurus pernikahan. Baju pengantin pun beli jadi. Bahkan siang lepas akad dan resepsi kecil-kecilan ketika tamu masih ada kami terpaksa pamit untuk mengejar pesawat.
Masa kecil pun terulang kembali di sini. Petualangan bersama dimulai lagi. Mengejar mimpi.
Dari Condongcatur ke Paris
Dari kebun tebu ke Eropa. Dari Mancasan ke Jepang. Dari Masjid Muhajirin ke Baitullah.
Tulisan singkat ini dibuat sebagai syukuran facelift (walau belum 100%) Backpackology, sebagai anak ke dua kami. Semoga ke depannya makin banyak cerita yang bisa dibagi dengan kawan-kawan pejalan semua.
Alangkah baiknya bila orangtua sudah mulai mengajak anaknya mencintai sejarah dan budaya sejak dini. Saya pun berusaha demikian, walaupun tidak selalu sukses. Tidak semua museum ramah anak. Kebanyakan – jujur saja – membosankan terutama bagi anak-anak.
Di Indonesia, Oliq baru belum banyak berkunjung ke Museum. Maklum saja bapak dan simboknya lebih senang ngajak dia liburan ke lokasi-lokasi yang berdekatan dengan alam, misalnya pantai, gunung, selain juga telusur candi.
Salah satu museum yang pernah kami kunjungi adalah Museum Gunung Merapi di Jogja, yang sayangnya pada saat itu hampir tutup. Jadilah Puput saja yang masuk dan mengambil foto. Saya dan Oliq menunggu di mobil karena anaknya juga sedang tidur.
Di Museum Satria Mandala Jakarta
Nah, museum berikutnya, sejauh ini adalah museum terkecil yang pernah ia kunjungi – namun favoritnya – adalah Museum Satria Mandala di Jl Gatot Subroto, Jakarta. Bagaimana tidak menjadi favorit, belum masuk juga sudah disuguhi beberapa pesawat terbang. Oliq terobsesi dengan pesawat terbang sejak usia belum genap 1 tahun (dia punya mainan dan miniatur pesawat terbang lebih dari 50 buah, mulai dari yang harganya 2.000 rupiah sampai 24 euro.
Di museum ini anak-anak memang bisa berlarian di halaman rumputnya. Sayangnya, pesawat terbang yang dipajang tidak bisa dinaiki. Sebenarnya kami sudah beberapa kali mau ke Museum Dirgantara Adisutjipto yang sangat lengkap, sayangnya belum juga kelakon. Padahal itu tempat studi ekskursi saya ketika TK.
Museum lain yang kami kunjungi adalah Museum Tsunami di Aceh. Bagian luarnya luas jadi cocok juga untuk membawa anak-anak, ada beberapa fitur yang interaktif.
Waktu umrah, kami juga dibawa ke Museum Makkah tapi tidak lama. Hanya putar-putar, foto-foto. Oliq juga belum bisa jalan jadi adem ayem digendong saja.
Oliq dan Puput di Museum Makkah
Terjadi kecelik yang sangat besar waktu mau ke Museum Anime Suginami di Ogikubo, Tokyo. Kami dengan pedenya ke sana tanpa memperhatikan brosur. Senin tutup! Untungnya cukup terhibur dengan sebuah kuil kecil di seberangnya. Setelah itu mengalami nggonduk lagi karena kesasar waktu menuju ke apartemen sewaan di Nishi-Ogikubo. Kaki saya sampai hampir prothol.
Perasaan bercampur-baur (maksudnya mixed feeling) saya mengenai membawa anak ke museum terjadi di Belanda. Saat itu kami berada di Rijksmuseum yang memamerkan berbagai lukisan karya pelukis ternama. Alkisah, Oliq tiba-tiba lari menuju ke salah satu lukisan mahakarya Rembrandt (yang kebetulan dipasang cukup pendek). Tangannya yang berbalur remah-remah keripik kentang terjulur. Saya dan seorang petugas museum lari mengejar. Kalau di film-film pasti sudah dibikin adegan slow motion. Oliq mbrobos pagar sebelum akhirnya petugas berhasil menangkapnya beberapa centimeter sebelum menyentuh lukisan. Saya deg-degan setengah modyar! Langsung saya cangking anaknya. Setelah itu Continue reading Traveling dengan Anak-Anak Part 20: Ngajak Anak ke Museum? Boleh, asal…→
Yang namanya makam, biasanya serem, apalagi makam di Indonesia. Langsung saja terbayang pocongan, genderuwo, ndas glundungan, sundul bolong, dan kolega-koleganya. Bunga-bunga kamboja berserakan menebarkan bau harum yang membuat bulu kudu merinding.
An Indonesian family backpacker, been to 25+ countries as a family. Yogyakarta native, now living in Crawley, UK. Author of several traveling books and travelogue. Owner of OmahSelo Family Guest House Jogja. Strongly support family traveling with kids.