Mumpung masih bulan Ramadhan, saya ingin sedikit berbagi pengalaman shalat di masjid-masjid India. Mungkin Anda agak heran, apa yang istimewa? Toh shalatnya sama aja kan, tetep pake bahasa arab kan. Memang sih, shalatnya sama aja, tapi tetap ada suasana yang berbeda dan unik, yang akan saya ceritakan disini.

Pertama kali menginjak kaki di India, salah satu tujuan adalah Masjid Jama (kadang disebut Jami atau Jamek) di kawasan Old Delhi, masjid terindah dan terbesar di India. Masjid ini mampu menampung hingga 25.000 jamaah. Dibangun selama 6 tahun dari tahun 1650 hingga 1656 oleh Raja Shahjahan dari Kerajaan Mughal yang juga membangun Taj Mahal dan Benteng Merah (Red Fort), masjid ini memiliki 3 gerbang, 4 menara, dan 2 minaret (menara untuk mengumandangkan adzan) setinggi 40 m yang terbuat dari batu merah dan marmer putih. Yang menarik, di dalam masjid ini ada ruang terbuka besar, kira-kira berukuran 75 x 66 m, dan dipenuhi burung merpati. Penjaga masjid sesekali menaburkan biji-bijian ke atas lantai dan burung-burung akan beterbangan menuju biji-bijian. Kalau ada yang mendekati, burung-burung ini akan berhamburan terbang ke atas atap masjid.

Wisatawan bisa memasuki masjid ini secara gratis, namun bila membawa kamera akan dikenakan biaya. Kebetulan saya dan Olen (si Oliq masih jadi gembolan) datang pas hari Jumat, sehingga kami memutuskan untuk datang agak pagi agar bisa leluasa memotret dalam masjid yang sangat cantik ini. Menjelang jam 11, petugas masjid sudah mulai “mengusir” turis-turis karena memang saatnya shalat jumat. Khusus hari Jumat jam buka memang hanya sampai jam 11 siang dan baru buka lagi setelah shalat jumat selesai. Awalnya saya juga diusir, namun setelah mengatakan saya juga muslim dan ingin shalat jumat disini, akhirnya petugasnya paham dan membiarkan saya tetep di dalam masjid.
Petugas segera menggelar karpet di lapangan dalam masjid karena memang lapangan ini kotor terkena kotoran burung. Bisa dibayangkan banyaknya karpet mengingat luasnya lapangan ini. Oya, tatacara shalat jumat di sini agak berbeda. Adzan pertama dilakukan seperti biasa, diikuti khutbah jumat dalam Bahasa Hindi. Tentu saja saya hanya diam dan melongo. Kemudian setelah selesai khutbah pertama, muadzin mengumandangkan adzan kedua. Setelah selesai adzan, para jamaah segera shalat sunnah, diikuti khutbah kedua. Tidak seperti khutbah pertama, khutbah kedua lebih banyak doa-doa dalam bahasa arab sehingga saya sedikit familiar. Selanjutkan muadzin mengumandangkan iqomah. Namun bedanya, iqomah disini lebih mirip adzan (dua kali pengucapan tiap kalimat), beda dengan iqomah di Indonesia atau Arab Saudi. Selanjutnya shalat jumat dua rakaat seperti biasa, tidak ada yang berbeda. Selesai shalat, Imam memimpin wirid diikuti jamaah, mungkin hal ini juga umum dilakukan di Indonesia.

Pengalaman kedua adalah ketika kami shalat di masjid dalam kompleks Taj Mahal. Masjid ini terletak di sebelah barat bangunan utama makam Taj Mahal. Secara arsitektur, bangunan ini juga didominasi batu merah. Lantainya pun merah, dengan bentuk menyerupai sajadah, tepatnya sejumlah 569 sajadah. Saya sempat bertemu dengan orang Indonesia waktu shalat di sini. Saya juga sempat berbincang-bincang dengan imam masjid ini yang dipegang secara turun-temurun. Dia tampak sangat senang ada jamaah dari jauh yang shalat di masjid itu. Pada saat menjelang maghrib, kumandang adzan terdengar dari masjid ini. Ternyata muadzin adalah imam masjid itu sendiri. Kami pun menyempatkan diri shalat di masjid ini, kali ini berjamaah langsung dengan imam masjid. Yang membuat saya trenyuh, dari ribuan pengunjung Taj Mahal yang didominasi orang India, tak satupun dari mereka yang shalat di masjid ini. Saya pun kini paham kenapa sang imam sangat bahagia ada yang shalat di masjid ini. Padahal, di kota Agra tempat berdirinya Taj Mahal, ada banyak penduduk muslim. Selain itu, populasi muslim India sebenarnya cukup banyak, sekitar 20 % dari 1 milyar penduduk.

Selanjutnya pengalaman saya adalah shalat di kompleks Qutb Minar. Ini adalah minaret tertinggi di dunia pada masanya, dengan ketinggian mencapai 72 m dengan diameter bawah 14 m. Menara ini mulai dibangun tahun 1197 seiring dimulainya kerajaan Islam di India, dan perlu waktu 20 tahun untuk menyelesaikan menara dan bangunan sekitarnya. Di dalam kompleks Qutb Minar terdapat sebuah masjid yang bernama Quwwatul Islam di sebelah timur laut menara. Sayangnya, masjid ini kini dibiarkan menjadi puing-puing dan tidak lagi berfungsi sebagai tempat shalat. Kembali saya merasa sangat sedih mengingat sejarah kerajaan Islam yang sangat panjang di India. Awalnya saya berniat shalat di masjid ini, namun mengingat di dalam bangunan cukup kotor dan tidak layak sebagai tempat shalat, akhirnya saya shalat sendiri di taman dalam kompleks masjid. Tampaknya saya menjadi tontonan menarik sehingga ada beberapa orang sibuk memotret saya ketika shalat. Ternyata, ketika kami keluar, baru kami tahu kalau ada mushola kecil di dekat pintu gerbang. Namun ini tidak mengurangi kesedihan saya, mengingat harusnya Masjid Quwwatul Islam di dalam kompleks tetap berfungsi sebagai masjid dan tempat shalat.

Banyak pejalaran yang saya ambil dari perjalanan kami di India. Kerajaan Islam yang berdiri cukup lama dan kuat di India, ditunjukkan dengan banyaknya bangunan-bangunan yang impresif seperti Taj Mahal, Masjid Jami, Qutb Minar, ternyata bukan jaminan dakwah Islam berjalan dengan baik. Saya merasakan seolah-olah Islam seperti agama yang masih asing di sini. Memang kita perlu belajar dari sejarah pada masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin, dimana tidak ada bangunan-bangunan besar namun dakwah benar-benar terasa sehingga Islam bisa berkembang ke seluruh dunia hingga kini.