Siang itu Semarang panas membara. Matahari begitu terik menyengat serasa masih tepat berada di ubun-ubun. Adzan dhuhur sudah bergema beberapa puluh menit silam, ketika kami tiba di parkiran Kuil Sam Po Kong.

Menurut sumber dari Wikipedia, Sam Po Kong ini dahulu adalah tempat persinggahan Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok. Laksamana Cheng Ho berasal dari Tiongkok dengan keturunan Persia. Bahkan Republika pernah menuliskan kemungkinan Cheng Ho merupakan keturunan Sayyidina Syafii yang merupakan keturunan langsung Nabi Muhammad SAW.
Dari luar terlihat adalah pengaruh Tiongkok yang sangat kuat dengan dominasi warna merah, seperti kuil-kuil Tiongkok yang pernah saya kunjungi di kota-kota lain. Kompleksnya juga sangat besar dan ramai. Pantas memang dijadikan salah satu lokasi wisata andalan Semarang, lekat dengan budaya dan sejarah.
Saat itu saya belum memahami sejarah kuil ini sehingga agak terperanjat ketika menemukan sebuah mushola tak jauh dari gerbang masuk. Alhamdulillah, tidak perlu lagi mencari masjid, sementara matahari makin menggelinding ke barat.
Mushola tidak terlalu besar, namun ramai oleh jamaah. Sebenarnya cukup terawat, namun seperti biasa, semua mukena kotor — problema klasik mushola di Indonesia. Ada yang shalat, ada yang berdandan, ada yang sedang menyusui bayinya.
Pertalian yang erat antara Islam dan klenteng ini juga membuat Sam Po Kong (katanya) jadi lokasi wisata religi muslim Tiongkok, terutama dari Yunnan. Yang saya lihat di sini sih klenteng ini malah jadi tujuan semua orang, ada perempuan berniqab, ada banyak etnis Tionghoa, ada orang-orang Jawa, semuanya campur aduk menikmati keindahan budaya.
Oleh saudara-saudara Tionghoa baik dari Semarang maupun luar kota, klenteng ini juga jadi tempat sembahyang. Maka dari itu, tak heran bila bau dupa menyeruak. Selain itu ada pula kios yang menjual dupa dan persembahan.

Bagian inti dari klenteng ini adalah sebuah gua batu yang kabarnya merupakan markas Laksamana Cheng Ho ketika mendarat di Jawa. Di dalam sini ada patung Laksamana Cheng Ho, altar, dan makam orang-orang terpercaya Sang Laksamana.
Di klenteng ini terdapat banyak lukisan-lukisan yang menggambarkan penjelajahan Cheng Ho dan awak kapalnya. Seperti relief di candi-candi. Seperti diorama di museum. Bak mesin waktu yang membawa kita ke masa lalu.
Cheng Ho sebenarnya hanya kebetulan mampir di Semarang. Ketika sedang menyusuri pantai Jawa, salah seorang awak kapalnya jatuh sakkt sehingga ia memerintahkan kapal untuk menepi dan kemudian menyusuri Kali Garang hingga berlabuh di Desa Simongan. Ia membangun sebuah masjid kecil.
Saya sendiri sangat menyukai pohon-pohon besar yang dibiarkan tumbuh di pinggiran. Lampion-lampion besar berwarna merah menggantung mewah. Orang-orang bergerombol berteduh di bawah pohon agar terlindung dari teriknya sang surya.
Saya dan Oliq duduk manis sambil menyeruput Teh Botol Sosro dingin di bawah pohon, sementara Puput menunaikan tugasnya memotret-motret.
Buat saya, Sam Po Kong ini menyimpan sejarah yang unik, menggambarkan toleransi agama dan budaya seperti menjadi miniatur kota Semarang di mana etnis Tionghoa dan Jawa hidup berdampingan apa adanya.