Kalau membuka linimasa saat ini, saya akan menemukan banyak sekali iklan vacation rental. Bisa jadi rumah mungil yang diubah fungsi menjadi guest house, atau unit apartemen yang didekorasi cantik hingga bisa disewa harian. Semacam hotel, demikian, tapi biasanya tanpa servis yang sama.
Ini menandakan dua hal, teman-teman saya sudah menyadari investasi properti mereka bisa menghasilkan pendapatan reguler. Ke dua, semakin banyak orang Indonesia yang memilih menginap di rumah atau apartemen sewaan, alih-alih di hotel.
Ada banyak alasan bergesernya preferensi akomodasi seperti yang pernah saya tulis di sini. Salah satunya adalah privasi. Yang ke dua, bisa memasak sendiri adalah alasan valid bagi para ibu dengan anak yang masih konsumsi MPASI. Ke tiga, lokasi.
Bulan lalu saya ada urusan di Jakarta. Kebetulan saya harus ke Kalibata. Karena bawa dua anak sendirian, saya memilih tempat menginap di Kalibata City, jadi bisa jalan kaki ke tempat yang saya tuju. Awalnya berniat menginap di unit saya sendiri yang saat itu kosong, tapi tiba sudah terisi. Akhirnya mesti cari-cari.
Hotel atau unit apartemen ya? Saya melihat Travelio.com punya beberapa unit yang disewakan di Kalibata Residence dan Green Palace. Harganya pun cocok, setara dengan hotel bintang 3 di bilangan Jakarta Selatan. Itu sudah dapat unit 2 kamar, sofa bed, tersedia dapur dan peralatan memasak.
Travelio ini unik, kita bisa menawar harga sewanya. Pengalaman saya membooking hotel lewat Travelio ada di sini
Jadilah saya sewa 1 unit apartemen di Green Palace untuk 3 hari. Mekanismenya mudah, saya bayar melalui internet banking (bisa juga dengan Mandiri Clickpay atau KlikBCA). Setelah itu akan ada komunikasi lewat WA dari.tim Travelio, menanyakan pukul berapa kita akan tiba di unit.
Pesawat saya dan anak-anak tertunda 1 jam. Setiba di Soetta saya mengabari tim Travelio bahwa saya agak terlambat sedikit. Untungnya tidak terlalu macet, dan dapat Mas Express yang baik hati.
Setibanya di Tower Tulip, sudah ada staff Travelio menunggu dan membantu membawakan barang. Dia menjelaskan tentang kunci dan kartu akses. Dan, yay, ada pocket wifi disediakan gratis.
Unitnya bersih walaupun kecil. Ya iyalah, semua juga tahu unit di sana ukurannya 33 meter persegi. Anak-anak kelaparan tapi terlalu capek untuk turun cari makanan. Oliq langsung tersenyum lebar melihat apa yang disediakan Travelio. Ada beberapa Popmie, air mineral, dan beberapa teh botol.
Oliq dan Ola berebut makan mie instan itu. Go judge me karena kasih makan anak mie instan, wahai ibu-ibu idealis! 😂😂😂
Alhamdulillah semuanya nyaman. Waktu Puput pulang kerja, saya harus jemput dia ke bawah karena tidak punya kartu akses. Jadi di sini, walaupun punya kartu kita hanya bisa naik ke lantai sesuai kartu kita. Turun pun hanya bisa ke lobi.
Anak-anak suka sekali mengintip dari balkon mungil tempat kami jemur baju. Karena tepat di depan outdoor AC, satu jam baju langsung kering.
Untuk check out, kita juga harus janjian dengan tim Travelio mau jam berapa. Nanti akan ada staf yang mengambil kunci, memeriksa unit dan mengembalikan uang deposit. Deposit kami 500 ribu.
Jadi apa saja plusnya:
Unit bersih, sesuai dengan fotonya
Transaksi mudah
Komunikasi dengan staf mudah
Gimmick makanan minuman membantu saat darurat (kalau ditambah suvenir lebih oke lagi)
Staf ramah dan tepat waktu
Disediakan toileteries dan handuk
Tentu saja tidak semunya positif, masih ada yang bisa diperbaiki. Misalnya staf harusnya lebih lengkap memberi informasi dan memastikan semua peralatan menyala dengan baik. Kasusnya kompor yang sempat rebus air untuk popmie tiba-tiba mati. Ternyata batere untuk pemantik habis. Akhirnya kami beli sendiri. Staf juga tidak menginformasikan ada tisu dan kantong sampah. Kami menemukannya waktu mau check out di dalam rak sepatu. Staf juga seharusnya memberi info tentang di mana harus membuang sampah. Karena kebetulan kami punya unit di Kalibata, kami sudah familiar dengan segala sesuatunya, kalau orang lain belum tentu kan?
Lebih oke lagi kalau disediakan dispenser sih heehe.
Apakah merekomendasikan menggunakan Travelio? BIG YES.
Travelio Property Management
Kalian punya properti nganggur dan terlalu sibuk untuk mengurus sendiri? Travelio Property Management bisa membantu mengurusi properti kalian.
Atau bisa jadi kalian ingin mengurus sendiri, tapi bingung memasarkannya? Bisa listing properti kamu di situs Travelio hanya dengan berbagi keuntungan sekian persen bila tersewa.
Dulu waktu saya pindah ke Malaysia, kebingungan siapa yang mau urus unit di Kalibata, akhirnya kami kasih ke agen. Sekarang lagi kepikiran siapa tahu bisa disewakan harian lewat Travelio.
Karena suatu hal yang mendesak, saya terpaksa menginap di Jakarta semalam untuk selanjutnya pergi ke Bogor di pagi harinya. Seperti biasa, hostel alias penginapan murah untuk backpacker yang menyediakan beberapa ranjang dalam satu kamar, menjadi pilihan saya. Kalau dulu saya pernah menginap di The Packer Lodge, kali ini pilihan saya jatuh ke Teduh Hostel di kawasan Kota Tua, lebih tepatnya di daerah Glodok.
Lobby Teduh Hostel, perpaduan warna ungu dan hijau yang selaras, dengan suasana nyaman meskipun di tengah hiruk pikuk ibukota
Siapa yang bisa menduga saya anak kampung ini bisa menjelajah Asia. Siapa juga yang menyangka dengan perut buncit saya bisa melintas batas negara. Dengan bayi pun saya menyeberang benua. Semuanya berkat AirAsia.
Tiga Masa Bersama Airasia
Boleh dibilang impian menjelajah dunia itu menjadi impian sejak kecil, tapi apa daya zaman dulu sepertinya sulit sekali ke luar negeri. Selain fiskal yang menjadi hambatan, rasanya tiket pesawat pun hanya mampu dibeli oleh mereka yang berpunya. Baru medio 2000 adanya AirAsia Indonesia menjembatani halangan ini. Semua orang bisa terbang. Semua orang Indonesia bisa ke luar negeri. Continue reading Tiga Masa Bersama AirAsia→
Sebenarnya, sudah lama saya ingin membuat tulisan untuk menanggapi penelitian yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries.” Eh, rupanya ada pula tulisan dari Mbak Jihan dengan judul yang sama, tautannya bisa dilihat di sini. Ulasan Mbak Jihan ini sangat menarik, saya jadi tergelitik untuk menuangkan pemikiran dan pengamatan saya sendiri terkait masalah ini.
Masjid Raya Aceh, masjid kebanggaan serambi Makkah, salah satu bangunan yang selamat dari terjangan tsunami
Untuk lebih menghangatkan suasana, berikut kutipan dari kompas, yang juga dikutip dalam tulisan Mbak Jihan.
Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Lalu bagaimana dengan negara-negara lain? Masih dari blog Mbak Jihan, ternyata negara dengan mayoritas penduduk muslim yang menempati peringkat tertinggi adalah Malaysia di urutan 39. Sementara Arab Saudi sebagai pemilik dua kota suci Makkah dan Madinah berada di peringkat 131. Sebagai perbandingan, Jerman berada di urutan 17, Amerika Serikat ada di 25, sementara Jepang menduduki peringkat ke-29.
Masjid Nabawi di Madinah, kota suci umat Islam yang tenang dan damai
Sebenarnya, buat saya pribadi judul “How Islamic are Islamic Countries” alias “Seberapa Islami Negara Islam” sebenarnya terasa sangat bombastis. Coba kalau dipersempit menjadi “Sebarapa Islami Seorang Muslim,” rasanya jawabannya pun sangat sulit. Apakah dinilai dari seberapa rajin dia shalat, sebarapa banyak zakatnya, sebarapa banyak hafalan Quran-nya, seberapa dalam pengetahuan Quran dan Haditsnya, dll yang sangat sulit diukur. Menurut saya, pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Allah SWT selaku Tuhan Semesta Alam. Kalau individu saja tidak bisa diukur, apalagi skala yang lebih luas seperti negara.
Pasti Anda akan kembali bertanya, apa iya tidak ada parameter untuk mengukur tingkat keislaman suatu negara?
Kalau saya sendiri sih, lebih suka menilai dalam skala kota daripada negara. Lihat saja negara kita Indonesia, kalau Jakarta dibandingkan dengan Yogyakarta saja sudah jelas sekali bedanya, apalagi dengan Banda Aceh misalnya. Dan ingat, meskipun Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, Islam bukanlah agama mayoritas di semua kota. Akibatnya, warna Islam pastinya akan berbeda antara kota Bandung yang mayoritas Islam dengan kota Denpasar yang mayoritas bukan Islam.
Anda pasti masih ingin berdebat, apa dong indikator tingkat keislaman yang saya pakai. Saya sendiri tidak suka menggunakan istilah “tingkat keislaman” alias “how Islamic” dengan alasan yang sudah saya kemukakan di atas. Namun, saya lebih suka menilai tingkat kenyamanan suatu kota dan bagaimana kemudahan pelaksanaan ibadah bagi kaum muslimin di kota tersebut. Terus, tolok ukurnya apa kalau begitu?
Kalau menurut saya, sekali lagi menurut saya, seorang pekerja kantoran biasa yang gemar jalan-jalan dan tentunya beragama Islam, indikatornya adalah fasilitas publik seperti trotoar, taman, kemudian transportasi umum (penting banget nih buat traveler kere), lalu lintas, kebersihan, ketertiban, keramahan, keamanan, dan …… yang paling penting adalah kenyamanan dan kemudahan beribadah, utamanya shalat di masjid, termasuk menemukan makanan halal.
Sekali lagi, indikator di atas adalah murni pendapat saya pribadi, boleh setuju boleh tidak. Tidak ada penelitian ilmiah dan sebagainya, hanya pengamatan dan pengalaman pribada saja. Jadi kalau Anda punya pendapat berbeda, monggo-monggo mawon, wong yang Anda lihat pastinya akan berbeda dengan yang saya lihat. Kalaupun sama, intepretasinya pun belum tentu sama. Saya tidak menyinggung masalah yang berat-berat seperti politik, ekonomi, HAM, dll…Kalau masalah ini biar Simbok Oliq saja yang bergelar Master of International Relation. Kalau saya hanya bisa nggelar kloso alias tikar.
Lalu kota-kota mana saja yang dinilai, apakah kota-kota besar seluruh dunia? Wah, kalo itu sampai tua pun bisa-bisa belum semua bisa dikunjungi. Di sini saya hanya menilai dari kota-kota yang pernah saya kunjungi saja. Alhamdulillah, saat ini sudah ada beberapa kota dari beberapa negara yang setidaknya bisa memberi gambaran luas bagi Anda.
Dimulai dari Indonesia, saya lahir dan besar di Yogyakarta, kemudian kuliah di Bandung, lanjut kerja di Jakarta, kemudian hijrah ke Balikpapan (walaupun bukan di kotanya), balik lagi ke Jakarta, hingga akhirnya awal tahun ini keluar dari Indonesia. Meluas ke negeri tetangga, kota-kota di negara ASEAN yang pernah saya kunjungi adalah Singapura, Kuala Lumpur (Malaysia), Kota Kinabalu (Malaysia), Bangkok (Thailand), Hanoi (Vietnam), dan Ho Chi Minh (Vietnam). Lanjut ke Asia, saya pernah plesiran ke Tokyo (Jepang), Kyoto (Jepang), New Delhi (India), dan umroh ke Makkah dan Madinah (Arab Saudi). Kemudian saya juga pernah diajak Simbok Oliq kilas balik ke Meulborne dan Sydney (Australia). Lalu yang agak jauh adalah kunjungan ke benua Eropa yang meliputi Paris (Prancis), Amsterdam (Belanda), dan Stavanger (Norwegia). Yang paling jauh adalah perjalanan ke Amerika Serikat, dimana saya berkesempatan menyambangi kota San Diego, San Fransisco, Los Angeles (ketiganya di negara bagian California), dan Dallas (Texas). Alhamdulillah….
Kota San Diego dilihat dari laut, salah satu kota di Amerika Serikat yang berdekatan dengan perbatasan Meksiko
Saya mulai dari Yogyakarta. Rasanya ini kota ternyaman di Indonesia versi saya. Di sini fasilitas publik lumayan bagus dibanding kota lain di Indonesia. Transportasi umum yang berupa bis kota sudah banyak yang uzur dan ditinggalkan pelanggannya yang kebanyakan beralih ke motor (seperti kota-kota besar lainnya), namun untungnya sekarang bis Trans Jogja sudah mulai digemari warganya. Kondisinya masih lumayan bagus, sayangnya jangkauannya masih terbatas. Kotanya cukup bersih, bisa dibilang tak ada pemukiman kumuh disini. Penduduknya juga ramah. Sayangnya kini lalu lintasnya mulai semrawut dan macet karena saking banyaknya motor, sementara jalan hanya bertambah sangat sedikit. Tapi bisa dibilang ini masalah semua kota besar di Indonesia. Sementara dari segi kemudahan menjalankan ibadah, Yogyakarta juga sangat nyaman. Masjid mudah ditemukan di mana-mana, demikian juga dengan makanan halal. Sayangnya, di sini saya tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang saya, jadilah saya harus hijrah dulu dari kota tercinta ini.
Takbir keliling dengan nyaman di Yogyakarta, cukup di jalan kompleks, tak perlu ke jalan besar yang bisa mengganggu pengguna jalan lain
Lanjut ke Jakarta, rasanya tak perlu panjang lebar lagi. Masalah klasik banjir dan macet masih belum teratasi hingga kini. Belum lagi kebiasaan buang sampah sembarangan yang parah. Fasilitas publik pun rata-rata kondisinya memprihatinkan walaupun sekarang sudah banyak perbaikan. Meskipun tranportasi umum masih sulit diandalkan, tapi bagusnya sekarang sudah terlihat perbaikan yang nyata. Untuk urusan beribadah, secara umum sudah nyaman. Masjid dan mushola tersebar di seluruh penjuru, bahkan kadang-kadang berdekatan. Sayangnya, saya banyak menemui masjid yang berlebihan dalam mengumandangkan pengajian dan wirid. Sebelum subuh banyak masjid yang sudah mengumandangkan pengajian dari rekaman entah dari jaman kapan, kadang bahkan sampai sejam sebelum waktu subuh. Bagi saya, ini sangat berlebihan, apalagi tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW. Nabi hanya menyuruh sahabat Bilal untuk mengumandangkan adzan secara lantang sebagai tanda shalat lima waktu, itu saja. Kalau Anda datang ke Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, Anda hanya akan mendengar adzan dan iqomat saja yang dikumandangkan lantang dari masjid, lain itu tidak. Selain menyelisihi sunnah, pastinya sangat mengganggu warga yang sedang beristirahat, apalagi bayi dan anak kecil. Jangan salah sangka lho, saya sendiri selalu berusaha shalat subuh tepat pada waktunya dan pergi ke masjid, tapi saya sangat tidak setuju kalau suatu masjid berlebihan dalam mengumandangkan pengajian dan wirid diluar adzan dan iqomat, karena memang tidak ada tuntunan dari Nabi SAW dan sangat menggangu. Kalau hal ini, Simbok Oliq yang sensitif karena Oliq suka tiba-tiba bangun dan menangis waktu masih bayi.
Masjid kubah emas di Depok… mungkin inilah masjid paling mewah di Indonesia
Mari kita beranjak ke negeri tetangga. Dimulai dari Singapura, sepertinya negeri ini contoh yang nyaris sempurna sebuah negara maju. Fasilitas publik yang bagus dan terawat, transportasi publik berbasis rel yang menjangkau hampir semua wilayah, serta kebersihan yang sangat terjaga di setiap sudut kota merupakan idaman setiap warga kota. Namun karena Islam bukan agama mayoritas disini, mencari masjid tidak semudah seperti di kota-kota di Indonesia ataupun Malaysia, walaupun masih lebih mudah dibanding kota-kota di negara-negara Eropa. Makanan halal juga demikian, meskipun tidak semua tempat ada, namun dengan sedikit usaha pasti kita bisa menemukannya. Tapi berhubung negara ini sangat kecil, suasana disini terasa sangat padat. Dimana-mana gedung pencakar langit, entah perkantoran atau apartemen. Seperti terkurung dan cenderung membosankan bagi saya. Belum lagi harga-harga yang sangat mahal dibanding harga-harga di Indonesia atau Malaysia. Untuk tinggal sementara waktu memang nyaman, tapi untuk tinggal dalam waktu lama, saya sendiri kurang suka.
Kali ini saya akan melewati Kuala Lumpur karena akan saya ulas di bagian terakhir. Beralih ke Bangkok, secara umum fasilitas publik dan lalu lintas di sini mirip dengan Jakarta. Dulu saya datang ke sini sekitar tahun 2005 sebelum transportasi massal dibangun, jadi rasanya mirip dengan di Jakarta. Mungkin sekarang sudah lebih mendingan daripada ibukota Indonesia itu. Sisi baiknya, disini sungai masih dimanfaatkan sebagai jalur transportasi sehingga bisa mengurangi kepadatan di jalan raya. Kalau soal kebersihan dan ketertiban, menurut saya mirip-mirip dengan Jakarta, tapi entah kalau sekarang. Nah, kalau bicara masalah Islam, disini jelas minoritas, jadi mencari masjid dan makanan halal agak sulit. Biasanya masjid hanya ada di pemukiman-pemukiman Islam yang umumnya orang India – Pakistan muslim atau pemukiman Melayu. Tapi kalau makanan halal masih bisa dicari dengan sedikit usaha karena wilayah ini masih berdekatan dengan Malaysia. Jadi buat seorang muslim, kehidupan di Bangkok memang agak sulit dibandingkan di Kuala Lumpur atau Jakarta, bahkan Singapura yang juga bukan mayoritas Islam.
Menuju ke utara lagi, secara umum Ho Chi Minh City terlihat lebih tertinggal dibanding ibukota-ibukota lain di negara ASEAN. Tak heran, perang Vietnam yang baru berakhir tahun 1976 membuat kota ini terlambat melakukan pembangunan. Namun, dibalik fakta itu, saya cukup kagum dengan kemajuan yang sudah dicapai kota ini. Meskipun secara umum fasilitas publik tidak terlalu bagus, di beberapa tempat terasa sangat nyaman untuk sekedar berjalan-jalan santai. Transportasi umum masih jauh tertinggal disini, bahkan taksi pun mayoritas berupa sedan butut tanpa argo. Lalu lintasnya juga sangat padat dengan motor, namun saya merasa lebih tertib dibanding Jakarta. Yang membuat saya kagum, terasa sekali penduduknya memiliki semangat kerja yang kuat setelah masa peperangan berakhir. Yang menyenangkan salah satunya adalah harga-harga makanan yang murah disini. Oya, sekedar info saja, mata uang vietnam, dong, nilainya lebih kecil dari rupiah, satu rupiah sama dengan 2 dong. Kalau untuk kaum muslim, mencari masjid dan makanan halal lebih sulit lagi. Seperti halnya di Bangkok, masjid umumnya ada di kantong-kantong kaum India-Pakistan muslim atau Melayu. Jadi kehidupan umat Islam di sini memang agak sulit, mirip dengan di Bangkok. Namun demikian, dalam pengamatan saya kaum muslim di sini cukup bebas dalam menjalankan ibadah, tidak ada tekanan.
Setelah kehebohan yang nggak pakai kira-kira, akhirnya kami secara resmi pindahan ke Kuala Lumpur Sabtu kemarin. Puput resmi jadi Tenaga Kerja Indonesia, dan saya – seperti biasa – instri solehah yang setia mendampingi suami bertugas.
Belum bikin foto baru
Gimana hebohnya pakai kira-kira wong ibarat kata pindah dua kali. Setelah harus bolak balik ke Kedubes Malaysia (yang untungnya cuma di seberang kontrakan), akhirnya visa kerja jadi juga. Dilanjut dengan beres-beres barang di rumah yang sudah kami tempatin 3 tahun. Bayangkan aja, dulu pindahan ke Rasuna belum punya Oliq, sekarang anaknya udah punya koleksi lebih dari 60 pesawat, belum mobil, kereta, dan susuh-susuh Puput yang nggak jelas. Harap maklum ya kalau kemarin-kemarin jadi jarang update blog.
Jadilah saya mulai beres-beres. Cari mover untuk mindahin barang dari Jakarta ke Jogja, selain juga packing pepancian koleksi saya yang cuma seuprit itu. Bilang sama pak pemilik kontrakan bahwa sewa tidak akan diperpanjang. Cari agen property buat ngurusin dua pagupon kami di Kalibata. Cari agen properti di KL untuk sewa condo.
Barang dipilah-pilah untuk dibuang, diberikan orang, dijual, disimpan, dan dibawa. Mutusin langganan TV kabel dan internet, mutusin data connection Kartu Halo dsb dsb, listnya nggak bakal habis.
Jadilah Hari-H, tanggal 26 Desember 2013 barang-barang diangkut ke Jogja, sementara kami nyusul berangkat naik mobil tanggal 27. Ketika barang sudah sampai di Jogja, kami baru en route to Semarang. Dulu belagak mau backpacking ke mana gitu sebelum pindah, lah karena waktu yang super mepet, akhirnya hanya bisa mampir ke Semarang. Cerita Semarang-nya disambung nanti ya.
Beberapa hari di Jogja juga cuma bisa beres-beres mana barang yang akan dibawa, dtinggal, dikirim, dan dititip sama siapa aja yang mau ke KL.
Berbekal sambel pecel dan abon, tanggal 4 Januari kami berangkat ke KL dari Jogja via Jakarta. Sialnya, waktu di Jogja bandara mati listrik dan ruang tunggu udah kaya oven. Semua orang kipasan alias kepet-kepet. Pesawat Garuda delay 45 menit. Sampai di Jakarta, udah kesusu check in, nyatanya GA kembali telat 1 jam, disusul antre 1 jam untuk terbang. Kami yang seharusnya sampai KL pukul 20.00 jadi 22.30.
Untunglah kami disambut manis. Petugas imigrasi ramah, senyum, nggak jutek blas. “Oh, kerja di sini ya, Pak?” tanyanya. Dia minta offer letter dari kantor Puput yang baru untuk dilihat saja. Beruntung nyaris tengah malam Oliq juga nggak rewel dan sudah ada sopir yang menunggu kami.
Akhirnya sampai juga di hotel – lebih tepatnya serviced apartement dink – yang sudah diatur kantor Puput. Mata Simbok langsung berbinar-binar dong liat kompor dan panci yang tersedia.
Perjuangan dilanjutkan dengan bikin janji sama agen-agen perumahan. Doain ya biar cepet dapet pagupon baru biar bisa menampung temen-temen huahahahaha.
Kenapa Kuala Lumpur?
“Orangnya reseh-reseh,” kata seorang teman.
“Hati-hati lho nanti di-bully!” kata teman lainnya.
“Awas nanti dikira TKI!” kata yang lain lagi. “Eeerrrr, lha memang kan?” jawab saya waktu itu.
First, above all, ga semua orang Malaysia brengsek kok, banyak juga yang baik. Kalo ada yang reseh, yo wis ben sing waras ngalah. Cuek dan kalem aja.
Alasan kami pindah ke KL ya jujur demi kehidupan yang lebih baik dong. Karena Puput dapat kerjanya di sini, enggak d Eropa (padahal saya berharapnya ke Eropa lho huahahaha). Gaji jelas lebih baik daripada di Jakarta, kalau nggak jelas nggak mau pindah dong.
Ke dua, KL itu deket sama Jogja, sak plinthengan aja lho naik AirAsia – ga perlu lewat CGK dan kudu antre terbang. Kalau mbah-mbahnya Oliq kangen juga gampang datang, murah lagi.
Ke tiga, KL itu biaya hidupnya ga jauh beda sama Jakarta. Transportasi jauh lebih baik.
Ke empat, yang paling penting, KL itu punya buanyaaaaakkkkk rute ke mana-mana. Ada ke Kathmandu, Seoul, Nagoya, berbagai negara di Eropa (kalau MH pas promo). Bayangkan! Mau jalan-jalan ke mana-mana gampang. Oh my God, oh my God *BRB cari tanggal merah* *browsing tiket*
An Indonesian family backpacker, been to 25+ countries as a family. Yogyakarta native, now living in Crawley, UK. Author of several traveling books and travelogue. Owner of OmahSelo Family Guest House Jogja. Strongly support family traveling with kids.