Sekitar dua tahun yang silam, muncul sebuah tulisan yang dipublikasikan oleh media Inggris The Independent berjudul Mecca for the rich: Islam’s holiest site ‘turning into Vegas’. Tulisan tersebut mungkin bukan yang pertama, namun cukup mencengangkan sekaligus menusuk ulu hati kaum muslim. Mungkin. Yang jelas saya pun jujur merasakannya.
Mekkah memang tidak punya kasino seperti di Las Vegas. Apalagi bar yang yang menyediakan free-flow beer #apasih. Tetapi dalam tulisan tersebut, dikupas betapa Mekkah – dan Madinah – mengalami overdevelopment. Pembangunan besar-besaran yang banyak didominasi oleh hotel berbintang 4 dan 5.

Wajar memang apabila Pemerintah Saudi melalukan pembangunan hotel dan infrastruktur di kedua kota suci ini. Bagaimana tidak, tiap tahun jutaan jamaah berbondong-bondong datang untuk beribadah haji. Belum lagi saat ini ibadah umrah adalah sesuatu yang sangat umum. Dulu mungkin hanya bulan-bulan tertentu Arab ramai dengan jamaah umrah. Kini tidak lagi. All year round, kalau kata orang Amerika.
Masalahnya adalah pembangunan tersebut mengancam berbagai situs sejarah yang seharusnya dilestarikan.
Mari kita tinggalkan tulisan di The Independent dan kembali ke pengalaman saya.
Tahun 2012 saya berkesempatan menunaikan ibadah umrah bersama Puput dan Oliq. Waktu itu usia Oliq 11 bulan dan cerita lengkapnya ada di sini.
Bagi saya, Madinah itu bersih, rapi, dan indah. Well, bersih di sini mohon jangan bandingkan dengan kota-kota di Jepang atau di negara Skandinavia, ya! Lumayan bersih, lah. Maklum saja, namanya kota yang didatangi oleh berbagai bangsa dari berbagai latar belakang dan kebiasaan, mau bersih banget juga tidak bakalan.
Mekkah lain sekali. Berantakan. Semrawut dengan pembangunan di mana-mana. Oke lah, Pemerintah Saudi memang sengan memperluas Masjidil Haram agar dapat menampung jamaah lebih banyak lagi. Banyak bangunan dihancurkan demi perluasan tersebut. Kata pemandu umrah kami, “Pemerintah mengganti kerugian pemilik bangunan luar biasa banyaknya, bisa dibilang harga tanah termahal sedunia ada di sini.”
Yang sungguh membuat saya terhenyak adalah begitu banyaknya bangunan pencakar langit yang berada di dekat Masjidil Haram. Bukan masalah banyaknya – wong banyak juga penuh terus kok! Tapi apa pihak yang berwenang itu tidak memikirkan perimeternya?!!! Bangunan-bangunan tinggi besar itu berdiri sangat dekat dengan tempat tersuci bagi umat islam ini.
Saya malah merasa kehilangan momentum di sini. Kekhusyukan pun berkurang. Mungkin sebagian juga karena saya harus melaksanakan ibadah sembari menggendong bayi. Kadang harus nyambi nyusuin juga.
Tapi sebagian lagi jelas salah Pemerintah Saudi. Lha mosok di hadapan Ka’bah, begitu mendongakkan kepala ke atas sedikit saja, yang terlihat adalah jajaran chain hotels bintang 5. Ada Makkah Clock Royal Tower milik Fairmont dengan jam raksasanya, ada Movenpick, ada Pullman. Bagi saya yang paling ngeselin itu – tepat di hadapan Ka’bah dan sedang mau khusyuk-khusyuknya ini – melihat Hilton Hotel. Langsung kebayang Paris Hilton dan video seksnya yang nggak terlalu menarik itu.
Astagfirullah.
Saya bukan orang alim. Saya hanya menulis apa adanya.
Tanpa mengurangi arti Mekkah dan Madinah sebagai dua kota terpenting umat Islam, sebelum tiba di sana ekspektasi saya lebih tinggi. Bayangan saya, Mekkah lebih suci dengan suasana yang lebih khusyuk. Lebih Islami. Nyatanya tidak demikian.
Gerai-gerai brand internasional pun bertebaran di mall-mall – dikunjungi oleh para jamaah mulai dari yang pakai burqa hingga yang masih memakai mukena sepulang menunaikan shalat di Al Haram.
Ada beberapa gerai ayam goreng yang bahkan tidak menyediakan tempat duduk bagi pelanggannya. Ya, makannya harus sambil berdiri. Padahal katanya sesuai hadits Nabi SAW, kalau makan harus sambil duduk. Terlihat banyak yang berdiri santai sambil makan. Kalau saya mungkin sudah ndeprok karena kalau berdiri bisa dijewer Puput. Ah sudahlah, malah menjalar ke tema lain “Arab Saudi Tidak Islami”.
Karena tanggung topiknya udah nyerempet, sekalian saja saya ceritakan pengalaman terakhir di imigrasi Jeddah.
Saya akan bilang terus terang Bandara King Abdul Aziz di Jeddah itu bandara dengan proses imigrasi dan custom paling brengsek se-dunia. Untuk melalui proses ini jamaah harus antri berdasarkan jenis kelamin. Loket hanya dua yang dibuka, sementara antrian sangat panjang, padahal banyak di antara jamaah yang merupakan orang berusia lanjut.
Setelah antri hampir tidak bergerak selama 30 menit, Oliq rewel minta menyusu. Saya cuek saja duduk ndeprok di lantai untuk menyusui, dan beringsut maju ketika antrian juga maju. Mungkin karena melihat inilah, seorang petugas akhirnya menyuruh saya dan beberapa jamaah berusia sangat lanjut untuk diprioritaskan.
Bahkan setelah pemeriksaan dengan metal detector, kami masih harus masuk ke dalam sebuah bilik untuk digeledah manual oleh petugas perempuan. Masya Allah, galaknya minta ampun. Ia memarahi seorang jamaah Indonesia berusia lanjut, karena tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh si petugas. Bagaimana bisa paham, ia berbicara dalam Bahasa Arab dengan nada yang membentak-bentak? Sambil digeledah saya semprot dia pakai bahasa Inggris, jadi kami berdua seperti dua orang gila berteriak-teriak dalam dua bahasa yang berbeda. Biarlah, mungkin pekerjaannya membosankan tapi tidak seharusnya dia memperlakukan orang-orang tua sedemikian kasarnya.
Karena calon penumpang yang banyak sementara pintu hanya sedikit, lebih dari satu jam saya dan Oliq menunggu sampai akhirnya Puput muncul. Bahkan keberangkatan pesawat Garuda yang membawa kami ke Jakarta pun harus terlambat karena calon penumpang yang tak kunjung siap masuk pesawat.
Seharusnya saya beri judul Kembalikan Ka’bah Kami ya Pemerintah Saudi. Perbaiki layananmu kepada orang-orang yang datang ke Baitullah. Kau sudah sangat beruntung diberi amanah menjaga tempat yang begitu suci. Tempat yang menjadi tujuan bagi ratusan juta hamba-Nya.
Pokoknya saya ingin lain kali ke sana, semuanya sudah harus diperbaiki, hai Raja Abdullah!
*kowe sopo to nduk, bengi-bengi ngomyang*