12 Pengalaman Sial Saat Travelling


Kalau plesir nggak ada pengalaman sial kan ga seru ya? Hooh to? Nek nggak nemu wong sing nggapleki kan hidup hambar to? Ini adalah 12 pengalaman sial kami saat travelling yang merupakan tulisa update dari 7 pengalaman sial sebelumnya. Sumpah lho ini belum semua.

  1. Tas kamera hilang kereta Thalys jurusan Paris – Amsterdam

Kalau tas kameranya doang nggak apa-apa kali ya? Ini ada isinya berupa Handycam Sony (ga apal specsnya) dan kamera pocket Canon SX 230. Plus batere-batere cadangannya. Selain itu ada juga charger kamera pocket Canon S90 yang (untungnya) posisi ada di saku celana Puput. Karena sibuk bawa barang (1 koper besar, 1 stroller, 2 ransel, dan 1 bayi), kami kelupaan ambil tas kamera yang ditaruh di kabin atas. Turun melenggang begitu aja di Amsterdam Centraal. Baru sadar pas mau check in apartemen. Panik? Iya. Sedih? Iya. Untungnya (cieeh Jawa banget sial juga masih dicari untungnya) video saya melahirkan yang ada di Handycam udah dihapus. Eh bener udah dihapus kan, Cup? Pokoknya kalau kejadian seperti ini menimpa kalian, jangan berlarut-larut dalam penyesalan. Yang kami lakukan pertama adalah balik ke Centraal dan lapor di Lost and Found. Sampai beberapa hari berikutnya pun kami tetap balik ke sana tanya apa ada yang nemu, walaupun tetap hilang. Beberapa bulan berikutnya kantor Centraal mengirimkan surat ke rumah kami di Jakarta menyatakan menyesal mereka nggak bisa menemukan barang kami yang hilang. Walaupun tetap tidak ketemu, kami akui itikad baik tersebut. Yang juga tidak kalah penting adalah solusi. Setelah lapor, kami buru-buru ke Nieuwmarkt untuk beli batere cadangan dan charger kamera S90 yang masih ada. Hilang ya hilang, tapi jangan sampai merusak seluruh perjalanan. Life and fun must go on!

  1. Berkelahi dengan sopir taksi di Hanoi

Sudah pernah ke Vietnam? Pasti sering lihat tulisan Sinh Cafe, yang biasanya menawarkan berbagai macam jasa yang berhubungan dengan pariwisata. Hari terakhir bulan madu, kami pesan taksi dari salah satu kafe di sebelah hotel kami di Old Quarter. Dipikirnya, ah cuma nganterin ke bandara nggak masalah walaupun taksi di Vietnam terkenal sangat parah dan penuh penipuan (mau tahu lebih banyak masalah ini dan tipsnya, beli buku kami terbitan Elex Media yang judulnya Backpacking Vietnam :-D). Nah jadi sewa mobil untuk antar ke bandara ini memang tarifnya sedikit lebih murah. Paginya kami berangkat. Sopirnya blas nggak bisa bahasa Inggris. Awalnya sih lancar.Tahunya si sopir belok ke sekitar pemukiman penduduk. Lah kan mau ke bandara? Ternyata dia bilang “friend…friend” gitu. Maksudnya mau jemput temen dulu. Iki piye to su?? Sebentar sih oke. Ternyata dia muter-muter sambil telpon karena nggak nemuin rumahnya si friend tersebut. Kami langsung naik darah karena waktunya udah mepet banget. Kalau ketinggalan pesawat Hanoi-KL, tiket KL-Jakarta juga hangus. Setengah jam muter belum ketemu. Kami marah-marah. Puput hampir aja mukul si sopir ini. Dia udah berhasil ngerebut kunci kontak mobil sambil bilang, “You move, I drive!” sampai akhirnya si temen nongol juga. Kami suruh kebut habis-habisan sampai ke bandara. Untungnya masih bisa check in walau mepet banget. Baca juga: Hati-hati Traveling di Vietnam.

  1. Ditangkap polisi di Taj Mahal

Sudah beberapa artikel menyinggung masalah ini, saya pernah menulis cerita lengkapnya di Kompasiana. Singkat cerita, kami hanya punya waktu sedikit saja untuk menyaksikan indahnya Taj Mahal. Di gerbang semua wisatawan diperiksa menyeluruh. Dan dasarnya udah buru-buru, kami tidak membaca larangan apa saja yang tidak boleh dibawa masuk. Puput masuk bawa tas kamera, saya masuk bawa perut buncit hamil 5 bulan. Buru-buru Puput keluarin tripod biar kami bisa foto berdua aja. Belum juga foto, ada polisi yang datang dan bilang tripod dilarang masuk kompleks Taj Mahal. Kami digiring ke markas polisi dan diinterogasi oleh seorang polisi berpangkat sersan. Puput disuruh mengidentifikasi mana petugas jaga yang meloloskan tripodnya. Hayah, mustahil banget to dia bisa ingat. Setelah beberapa saat, memohon, mengembik-embik, dan mengatakan udah ambil aja tripodnya (dalam hati, wong harganya cuma Rp 150 ribu), si Sersan Prasath ini melepaskan kami tapi menyita tripod, dan boleh diambil saat pulang. Tips: jangan panik. Ketika digiring ke kantor pun kami masih sempatkan foto-foto – kaya anak kambing yg nggak mau digiring ke kandang. Gunakan kemampuan diplomasi dan negosiasi.

Cerita lengkapnya di sini.

  1. Menunggu semalaman di Stasiun Agra

India itu penuh dengan kesan yang tidak akan lekang oleh zaman. Setelah tragedi Taj Mahal, kami ke Stasiun Agra untuk menunggu kereta kembali ke Delhi. Stasiun penuh sesak, saat itu bulan Januari dan suhu udara di bawah 5 derajat Celcius. Kereta yang seharusnya datang pukul 20.00 tidak kunjung tiba. Ternyata semua kereta api antar kota terhalang kabut tebal dan terlambat. Terlambatnya pun tidak kira-kira. Untuk jarak jauh bisa terlambat sampai sehari semalam. Orang-orang bertumpukan di ruang tunggu. Banyak yang membawa bed cover dan goni untuk selimut. Jalan saja susah saking banyaknya penumpang tidur di lantai dan peron. Kursi tinggal satu, saya dan Puput harus bergantian duduk di lantai. Dan kami (gobloknya) hanya pakai sandal gunung! Setelah jam-jam yang menyiksa, akhirnya sekitar pukul 6 pagi, si bapak penjaga ruang tunggu baik hati yang membagi selimutnya dengan saya berseru, “Shatabdi…shatabdi.”

It’s worth the hassle. Cerita lengkapnya di sini.

  1. Kesasar akut di Cianjur dan Tasikmalaya

Kesasar biasa sih normal aja ya, ini kesasarnya parah banget. Kejadian pertama waktu saya hamil sangat muda 1,5 an kali ya. Kami ke Kebun Bunga Nusantara. Pulangnya Puput manut sabda pandhito ratu ke GPS. Bukannya balik ke arah puncak, kami sampai ke jalan tanah tak berujung yang sebelahnya jurang. Hujan deras menghalangi pandangan. Tidak ada rumah di kanan kiri jalan. Jalannya menghilang di GPS. Berjam-jam kami lalui penuh penderitaan. Akhirnya kami tiba di sebuah warung yang pemiliknya bilang, akan ada jalan arah ke Bandung 7 km lagi. Kepala saya sudah berat tidak bisa diangkat. Akhirnya kami sampai di jalan raya tersebut, rasanya seperti menemukan oase di gurun pasir. Dari Cibodas jam 4 sore, kami tiba di Santika Bandung jam 10 malam.

Kesasar akut ke dua adalah dari Tasikmalaya ke Green Canyon – Batu Karas. Saya sudah browsing jalurnya adalah ke arah Banjar, Ciamis, Pangandaran, baru ke arah Cijulang. Dan seperti biasa, Puput ngeyel dan malah percaya GPS. Akhirnya bukannya nemu Green Canyon, kami malah nemu Cimanuk, Cimerak, dan Ci-ci hewan yang lain. Terpaksa saya harus nunut pipis di rumah penduduk karena sama sekali nggak ada pom bensin. Dari Tasikmalaya jam 7 pagi sampai di Green Canyon jam 2 siang. Mobil udah kaya dari medan tempur, sampai pemilik penginapanya nawarin mau nyuciin mobil.

  1. Diusir dari pesawat di Singapura

Ini pengalaman paling memalukan deh pokoknya. Ada juga cerita lengkapnya di sini. Jadi, Puput merasa pesawat kami berangkat jam 10.00. Kami sampai di Changi tepat jam 9, buru-buru check in dan masuk. Dan memang diizinkan masuk ke ruang tunggu. Tidak berapa lama ada panggilan masuk ke pesawat Garuda. Ya kami masuk dong dengan tenang. Duduk manis di kursi. Penumpang lain masuk. Tiba-tiba ada petugas bandara yang masuk dan nanya dengan nada membentak, “Pesawat bapak jam berapa?” “Jam 10.” kata Puput. Engggg yang ternyata setelah dilihat boarding pas dan tiket adalah untuk GA jam 11.35. Dueeeenggg dong saya! Kami diescort balik ke ruang tunggu di luar. Kami marah-marah kenapa kalau belum jamnya sudah diizinkan masuk. Bapak itu juga minta maaf karena mereka juga lalai nggak liat jamnya. Sama dong pak! Lesson learned: jangan percaya sama suami. Cek ulang!

Menuju Terminal 3 di Changi.

  1. Menginjak kotoran anjing di Jardin du Luxembourg

Bukan saya, bukan Puput juga. Tapi Oliq. Ceritanya hari itu mau santai-santai aja keliling Latin Quartier, nyusurin St Michel, ke Sorbonne. Akhirnya kami makan siang duduk di taman di Luxembourg. Makan siangnya pakai shift. Puput duluan, saya jagain Oliq. Oliq lari sana-sini. Semuanya berjalan lancar. Gantian saya yang makan, Oliq dijagain Puput. Belum 3 menit, sepatu Oliq sudah berlumur kotoran anjing. Kata saya, “Nek dijagain kamu tuh mesti ada-ada aja, baru sebentar udah midak telek. Ora elit banget, ning Paris midak telek kirik.” Saya langdung mengemasi semua barang dan mengajak pulang. Puput sibuk meminimalisir cepretan kotoran dengan menggunakan daun-daun kering. Kami nggak nemu keran air. “Maemmu ga dihabisin?” “Yo udah nggak napsu!” kata saya. Akhirnya sampai di apartemen Puput dihukum cuci sepatu, celana dan stroller Oliq sampai tai-free.

Updated:

  1. Ban Mbledos di Bukit Panguk, Bantul

Ini cerita sungguh sangat embuh. Ceritanya kami terjebak foto-foto FB instagramable kekinian penuh dengan editan (saiki wis emoh-emoh lah), hingga suatu hari kami pun menuju ke Bukit Panguk di Bantul. Hanya beberapa kilometer dari Hutan Pinus Mangunan. Berangkatnya tidak ada masalah. Pas pulangnya tragedi. Puput nyetir sambil berusaha meraih wafer, sudah sering saya bilang mbok nek nyetir ojo ubek wae. Mobil terbelok sedikit dan ban menabrak batu tajam, meletus seketika. Ya kan tinggal ganti ban. Iya gampang, tinggal ngganti. Ternyata ban serep itu udah bocor sebocor-bocornya. Gembos mbos, hingga walau diganti mobil tetap nggak bisa dijalankan. Ah ya, posisi saat itu di tepi hutan tak bertuan huwaaa huwaaa. Dan sore itu Puput sudah pegang tiket terbang balik ke Jakarta. Akhirnya dengan sinyal HP yang undlup-undlup, Puput bisa telpon Mbak Pertama, suruh jemput. Mbak Pertama terlalu jauh, jadi telpon Mbak Ke Dua yang posisi lebih dekat. Setelah nunggu satu jam (di luar waktu kami heboh-heboh ganti ban dan ngamuk-ngamuk), Mbak Ke Dua dan Suaminya datang bawa pompa. Ban serep kempes berhasil dipompa. Kami pun bisa pulang. Tak berapa lama setelah sampai di rumah ban sudah lembali gembos total. Cerita lengkapnya di sini.

  1. Terjebak Banjir Pantai Timur Malaysia

Tahun 2014 akhir Malaysia mengalami banjir terparah selama 26 tahun terakhir. Kami sudah tahu kondisinya tapi bookingan hotel tidak bisa dicancel karena wilayah kota Kuala Terengganu tidak banjir. Sampai sebelum hari H kami masih galau tapi setelah ngecek lewat twitter LPT (Lebuhraya Pantai Timur alias jalan tol yang menghubungkan kota-kota Pantai Timur) masih aman. Jadi kami berangkat. Aman tentram walau kepethukan dua titik banjir yang agak macet. Tidak terlalu tinggi banjir di jalanan, mungkin sekitar sebetis manusia pendek macam saya, walau di kanan kiri jalan terlihat rumah-rumah sudah terendam air cukup tinggi dan penghuninya sudah mengungsi. Kami masih pede, kebetulan saat itu mobil kami KIA Sorrento yang agak besar dan tingga, enggak kaya mobil Myvi imut kami sekarang. Nah pas pulangnya kami menginap semalam di Gambang City. Saya ingat betul sore itu ada musibah AirAsia Surabaya-Singapura hilang kontak.

Gambang hanya sekitar 2-2,5 jam dari Kuala Lumpur. Ternyata sejak malam hingga pagi banjir sudah menutup LPT di Temerloh sehingga jalan tol tutup total. Hotel di Gambang langsung menyebarkan selebaran diskon 50% untuk malam berikutnya. Apa daya, Puput harus berrangkat kerja besoknya, kami harus mencari jalur alternatif. Arahan Dinas Jalan Raya (JKR) cukup jelas. Rute alternatifnya melalui Muadzam Shah, Kuala Pilah, hingga Seremban. Mobil-mobil rapat melalui jalan-jalan alternatif yang tidak terlalu mulus di tengah kebun sawit. Rasa-rasanya hampir menangis merasakan macetnya yang luar biasa. Untung saya yang sedang hamil Ola tidak kenapa-kenapa. Siang-sore kami lalui di jalan. Suasana dalam mobil sudah panas. Sedikit-sedikit Oliq kena bentak Puput. Hingga perjalanan Pahang-Negeri Sembilan-Selangor berhasil dilalui. Ketika njedul di jalan tol Seremban rasanya hati bersorak. Waktu tempuh yang harusnya 2 jam berakhir dengan 10 jam perjalanan.

  1. Ditilang Polisi Dua Kali dalam 1km

Ini perjalanan paling wagu yang pernah (akan) kami lakukan. Waktu itu kami masih tinggal di Apartemen Taman Rasuna di Kuningan Jakarta. Ceritanya mau ke Bogor – atau Bandung gitu, lupa. Keluar setelah Pasar Festival (sekarang Plaza Festival), Puput masuk ke jalur cepat, yang ternyata salah bolongan. Hadeeeh. Masuknya ke bolongan yang harusnya keluar dari jalur cepat ke jalur lambat. Langsung dipepet polisi. Jebul, SIM Puput ga ada karena hari sebelumnya dia ke kantor siapa gitu, njuk SIM ditukar visitor pass dan pulangnya lupa tuker balik. Kena Rp 250.000.  Lanjut terus belok Gatot Subroto, pas di depan RS Medistra dipepet polisi lagi tanpa kesalahan. Of course ditilang lagi karena ga ada SIM. “Iki mesti polisine dikandani polisi sing mau,” kata Puput. Hoalaaaa. Belum juga 2km dari rumah duit udah ludes. Akhirnya kami balik pulang. Nggonduk, Bro.

  1. Amazing Race di Macau

Ini perjalanan sungguh sangat melelahkan. Seharian kami cuma makan selembar roti tawar gara-gara ga nemu makanan halal. Wis tenan aku kesel banget le nyeritake, kalian baca sendiri aja cerita lengkapnya di sini.

  1. Jalan-jalan Hangat di Banpo Bridge Seoul

Saya sudah bilang sama Puput, ngapain jalan nyeberang jembatan musim dingin kaya gitu. “Agak anget kok, Cop,” katanya sambil menunjuk papan temperatur di jalan yang menunjukkan 3 derajat Celcius. Tiga derajat Celcius *dibaleni meneh*. Anget gundule wewe gombel. Saya juga dengan bodohnya sendhika dhawuh, ngikut aja. Awalnya dia ga bilang sih, mau nyeberang jembatan tapi kayanya sebenarnya itu sudah jadi agenda tersembunyi.

Panjang Banpo Bridge sebenarnya ‘hanya’ 1.495 meter. Enteng kan? Tapi total jarang yang kami lakoni dari Ichon, hingga turun jembatan ke halte bus adalah 3,5 km, itu belum kehitung naik-naik tangganya. Saya jalan sambil nggerundel di belakang. Punggung saya sudah pegel pol nggendong botol-botol air, kamera, dan kenangan masa lalu. Jalannya nggak ikhlas banget. Ini jembatan mana sih ujungnya? Udah dilihatin orang-orang yang naik mobil mbatine wong gendheng iki mlaku nggowo bayi sisan.  Udah sampai di ujung sungai ternyata jembatannya melingkar-lingkar lagi. Lega ketika akhirnya menapaki tanah lagi. Menurut primbon, kami seharusnya naik bus nomor 504 untuk bisa langsung turun di Itaewon. Menunggu dengan harap-harap cemas. Senyum sumringah keika melihat bus yang ditunggu di atas flyoveryang ujungnya ternyata beberapa meter melewati halte bus dan si 504 bablas saja masuk ke flyover berikutnya yang menuju ke Banpo Bridge. Rasanya pengen garuk-garuk mukanya Oppa Jong Ki!!!

Lengkapnya di sini.

17 thoughts on “12 Pengalaman Sial Saat Travelling”

  1. Aku ngakak baca ceritamu, mbok. Cara bertuturmu kuwi lucuuu.
    Kethoke paling ngenes pengalaman pertama ya. Aku biasane ra tau kehilangan atau kemalingan pas traveling. Lha dalah pas ke Yangon kemarin, henfon sama jaketku sing anyar isih mambu toko ilang!

    Like

Leave a reply to ARCHA BELLA Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.