Masak Sendiri Saat Traveling


Pencapaian terbesar saya saat traveling hingga kini adalah memasak lodeh terong di Norwegia. Impian berikutnya adalah bikin gudeg di Santorini, Yunani.

Gairah kesimbokan saya memang luar biasa.

Ada banyak alasan menggapa seseorang itu memasak sendiri saat traveling. Salah satu yang paling ngetop adalah HEMAT. Bagi traveler, hemat pangkal banyak jalan-jalan. Ya, kalau gaya travelingnya boros, bisa-bisa besok ga bisa jalan lagi karena kehabisan dana. Makanya, kalau bisa irit kenapa harus boros?

Dapur kami di apartemen Amsterdam
Dapur kami di apartemen Amsterdam

Hitung saja misalnya di Australia satu kali makan adalah AUD 10 atau sekitar RP 120.000. Maaaak, buat makan di warteg bisa seminggu itu! Kalau masih di Asia Tenggara, lumayan lah nggak beda jauh dengan di Indonesia.

Alasan berikutnya adalah HALAL. Bagi muslim yang sangat soleh dan solehah seperti kami *kibas kerudung*, agak sulit menemukan tempat makan halal di negara di mana muslim minoritas. Kalaupun ada biasanya restoran yang mahal dan kebanyakan restoran Arab India gitu. Kami sih terus terang agak dong-dongan masalah ini. Kalau memang ada yang halal dan mudah dijangkau (seperti Nando’s ketika di Sydney) ya jelas pilih yang halal. Tapi kalau jauh dan udah kelaparan akhirnya pilih yang dekat dengan menu beef atau chicken, misalnya ketika kami makan Hungry Jack sambil nangkring di Circular Quay Sydney.

Dengan memasak, kita lebih bisa memastikan mana yang halal dan mana yang tidak, walau kadang kita juga tidak tahu apa daging yang dibeli di supermarket itu halal. Pernah di Tokyo, saya membeli daging sapi untuk rawon tanpa tahu kehalalannya. Tetapi di Amsterdam, supermarket Albert Heijn menyediakan produk halal, jadi alhamdulillah lebih mudah. Ini sih tergantung kearifan Anda sendiri ya, kalau galau ya masak sayur, ikan, telur saja.

Bekal untuk jalan-jalan ketika di Jepang
Bekal untuk jalan-jalan ketika di Jepang

Alasan lain adalah BOSAN. Selama di Jepang, saya tidak terlalu masalah sih makan sushi dan onigiri (biasanya milih yang ikan), selain mie instan, toh masih nasi. Tetapi kalau di Eropa sepertinya akan kolaps kalo dijejeli roti terus.

Tiga minggu makan kaya gini? Ga sanggup
Tiga minggu makan kaya gini? Ga sanggup

Yang paling parah ketika kami di Stavanger. Di sana makanan di hotel berupa cold cuts, yaitu potongan daging tipis (salmon, salmon asap, bacon, ham, entah apalagi), dan keju-kejuan dan roti-rotian. Semuanya disajikan dalam keadaan dingin. Dua hari langsung nggak selera, untungnya kami kemudian pindah ke apartemen dengan peralatan memasak lengkap, kecuali rice cooker. Dan kami sudah bawa rice cooker dari Indonesia. Langsung menggila cari sayuran, untung ketemu daerah Asia namanya Pedersgata. Nemu terong, rebung kaleng, dan cabe. Jayalah Indonesiaku!

Lobster, sambal dabu, nasi hangat di tengah udara minus
Lobster, sambal dabu, nasi hangat di tengah udara minus

Barang apa saja yang dibawa:

Rice cooker atau magic jar kecil (pengalaman di apartemen di Jepang disediakan rice cooker, kalau di Eropa tidak)

Kalau memilih akomodasi hotel tanpa kitchenette, dulu ketika Oliq masih bayi terpaksa membawa kompor listrik dan panci kecil. Sekarang sih udah malas.

Beras seplastik kecil untuk 1-2 hari pertama

Garam sebungkus kecil (karena kalau beli dijamin akan tersisa, yang pasti ditinggal/dibuang)

Mi instan (nantinya bisa divariasi dengan sayur, telur, dan daging)

Bumbu instan nasi goreng, sop, soto, rawon, sesuai selera

Bumbu instan ikan/ayam goreng ( Racik dan Bamboe punya, yang berupa serbuk warna kekuningan)

Tepung bumbu instan (bisa buat goreng tahu, atau tempura ayam, sayur dan ikan)

Sambal botol atau sachet (entah itu model sambal asli ABC atau versi sambal terasi)

Santan bubuk

Abon, kornet, sarden

Tupperware-tupperware-an untuk tempat makan bekal kalau kita pas jalan-jalan

Yang biasa saya beli di supermarket

Minyak goreng (di Jepang pernah salah beli cuka)

Daging (sapi, ayam, ikan, udang…waktu di Kyoto pernah dapat salmon muraaaaaaaaaaah, waktu di Stavanger beli lobster direbus dimakan pakai sambal dabu-dabu)

Sayuran (mana saja yang murah, biasanya wortel, brokoli yang kalau malas masak bisa dijadikan tempura. Kadang beli yang sudah campur atau mixed veggies yang fresh maupun beku)

Beras tambahan

Tips: kalau masak di hotel tanpa kitchenette, rice cooker yang beruap bisa ditaruh di tempat ketel listrik (yang biasanya juga mengeluarkan uap), atau di bawah exhaust. Kalau masih tidak pede dengan asapnya, pas berasap itu dikipas-kipas.

Tips memilih akomodasi berupa apartemen (dengan kitchenette) buka di sini.

11 thoughts on “Masak Sendiri Saat Traveling”

  1. saya kira, betapa hectic nya dan repotnya masak sendiri ketika travelling, oh no. Tapi kalo baca postingannya mak olen kali ini, jadi bisa minim anggaran banget yah. Wah,, trik yang bagus, tapi tetap harus tau detail penginapan juga yah. Nice info mak olen 😉

    Like

  2. halo mba.. saya berencana mau ke tokyo january tahun depan. dan saya membawa anak saya umur nya 2,5 tahun. because of many reason, saya tuh harus masak makanan pagi siang malam untuk anak saya. boleh tanya refrensi rice cooker dan electric cooker yang suitable untuk voltase di tokyo yg 110? kalau di jakarta beli dimana ya mba rice cooker and electric cooker yang 110v?

    Like

    1. Waktu itu apt yg saya sewa udah sediakan rice cooker. Anak sy juga picky eater kok jd klo bisa masak sendiri. Di jpg waktu charge gadget ga masalah cuma agak lelet. Aku punya rice cooker kecil bgt beli di ambassador yg mall-nya di lt plg atas. Lupa nama tokonya

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.