Bagi masyarakat Yogyakarta, Gunung Merapi memiliki arti tersendiri. Mulai dari mitos garis lurus dari Merapi, Tugu, Keraton, hingga Parangtritis, hingga fakta bahwa tanah di lereng Merapi memang benar-benar subur, Merapi menjadi sebuah sosok yang dihormati.

Bagi pecinta wisata, Merapi juga menawarkan pesona yang lekat di kalangan rakyat Jogja. Yang paling terkenal tentu saja Kaliurang, sebuah kawasan kecil di selatan Merapi yang dikelilingi hutan alami, dengan mata air yang sejuk, kuliner khas Jadah Tempe, dengan akses yang mudah dari kota Jogja. Yang tak banyak dikenal sebelum letusan Merapi tahun 2006 adalah kawasan Bebeng atau Kali Adem. Berbeda dengan kawasan Kaliurang yang tertata rapi, di Bebeng bisa dibilang hanya berupa tanah lapang yang berada persis di jalur lava Kali Adem. Di sini hanya ada sebuah pendopo dan beberapa warung kopi. Di sini pula terletak rumah juru kunci Merapi yang legendaris, Mbah Marijan, tepatnya di desa Kinahrejo, desa terdekat dengan puncak Merapi.
Sebagai warga Jogja, saya sendiri baru kenal dengan Bebeng ketika awal-awal bergabung dengan klub pecinta alam pada masa SMA. Waktu itu, tahun 1996, ada acara kumpul-kumpul pelajar pecinta alam se-Jogja dan saya baru bisa bergabung belakangan. Awalnya, saya dan Cahyo, kawan saya, kira, Bebeng itu ada di seputaran Kaliurang, jadilah kami pede naik motor meluncur ke Kaliurang. Sampai di gerbang masuk, barulah kami tahu kalau Bebeng itu arahnya lain. Terpaksa kami memutar balik, bermodalkan GPS dan google map langsung meluncur ke Bebeng… Hush, ngawur, nalika jaman semono belum ada GPS, yang ada hanya navigasi kulo nuwun alias Tanya-tanya orang. Alhamdulillah orang-orang di sana ramah-ramah, akhirnya sampai juga di desa Kinahrejo. Udah selesai?? Ternyata belum, rupanya kami masih belum ketemu dimana letak kumpul-kumpulnya. Akhirny atas petunjuk penduduk local, kami pun disarankan sowan dulu ke rumah Mbah Marijan. Rumah beliau sederhana saja, khas rumah desa, dengan ruang tamu yang luas. Tampaknya beliau sangat sering kedatangan tamu. Kami pun langsung disambut ramah Mbah Marijan, yang kebetulan juga sedang menerima seorang tamu.
“Kenalkan, saya Badak,” kata tamu Mbah Marijan.
Rupanya di kalangan pecinta alam, nama samaran cukup sering digunakan dan kadang lebih popular dari nama asli. Kawan-kawan saya pun banyak yang punya nama samaran seperti Lethek, Towet, Besek, Celeng, hingga Cawet hehehe… Badak ini perawakannya tinggi besar, dengan rambut gondrong, mengenakan kemeja flannel, celana lapangan, dan sepatu gunung. Benar-benar khas anak PA.
“Mau kemana mas,” Tanya saya.
“Cuma mau nginep di goa Jepang, ini sowan dulu ke Mbah Marijan,” jawab Badak dengan lugas.
Wah ngeri juga orang ini pikir saya, sendirian mau nginep di goa jepang. Setelah itu, kami pun bercakap-cakap santai dengan Mbah Marijan. Beliau benar-benar ramah, bahkan pada kami yang baru pertama kenal. Waktu itu, tahun 1996, hanya sedikit orang yang kenal Mbah Marijan. Paling hanya penduduk local, pendaki gunung yang mau mendaki Merapi lewat jalur Kinahrejo, atau orang-orang kraton. Akhirnya kami pun disarankan langsung ke Bebeng yang sering digunakan sebagai tempat berkumpul dan camping, dan memang ternyata kawan-kawan sudah berkumpul di sana. Semenjak itu, saya dan kawan-kawan pecinta alam menjadi sangat akrab dengan Bebeng dan Kinahrejo. Kadang-kadang, kami menginap beberapa hari untuk latihan. Bisa dibilang, Bebeng adalah halaman belakang Pecinta Alam Jogja.
Seiring bergulirnya waktu, Merapi kembali menunjukkan aktifitasnya di tahun 2006. Pada waktu itu Merapi sudah beberapa kali menyemburkan awan panas. Mbah Marijan yang sudah diminta turun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku raja dan gubernur, menolak untuk turun. Beliau tetap pada pendiriannya untuk tinggal di Kinahrejo. Mulai dari sini Mbah Marijan dan desa Kinahrejo dikenal public Indonesia secara luas. Akhirnya memang saat itu awan panas tidak mengenai desa Kinahrejo walaupun sudah memporak-porandakan kawasan Bebeng. Pendopo satu-satunya hanya terlihat atapnya, seluruhnya tertimbun lahar. Saat itu letusan Merapi juga memakan 2 korban tewas karena terpanggang dalam bunker di dekat arah masuk Bebeng. Rupanya, bunker itu tidak kuat melindungi dari panasnya wedhus gembel Merapi. Dua orang tersebut ditemukan tewas tengah mencoba berendam dalam kamar mandi bunker.
Nama Mbah Marijan makin melambung setelah beliau bersedia menjadi bintang iklan sebuah produk minuman energi. Awalnya beliau menolak, tapi setelah dibujuk bahwa honornya bisa untuk membangun desa, barulah beliau bersedia. Yang luar biasa adalah kesederhanaan dan pengabdian beliau tidak berubah. Rumahnya tetap sederhana walau memang ada perbaikan karena rumah beliau bisa dibilang rumah singgah untuk berbagai kalangan, baik yang sekedar ingin bertamu atau hendak naik gunung. Mbah Marijan pun tetap ramah dan terbuka bagi siapa saja.
Tepat 4 tahun dari letusan tahun 2006, Merapi kembali bergejolak. Kali ini jauh lebih dahsyat. Awalnya, ketika Merapi mulai batuk-batuk, penduduk sudah mulai diungsikan menjauhi puncak. Mbah Marijan masih pada pendiriannya untuk tinggal dan menjaga Merapi di desa Kinahrejo. Puncaknya, tanggal 26 Oktober 2010, Merapi mengamuk dan memuntahkan awan panas bersuhu lebih dari 600 derajat Celsius dan menyapu lereng Merapi bagian selatan. Kali ini, Mbah Marijan yang baru mau mengungsi, ikut menjadi korban beserta tim relawan yang akan menjemput dan penduduk local. Beliau ditemukan tengah bersujud di kamarnya. Rakyat Jogja pun berduka dengan kepergian beliau.
Letusan tahun 2010 benar-benar dahsyat. Setelah Merapi dinyatakan aman, saya pun kembali menengok wilayah itu dan benar-benar tertegun. Saya hamper tak mengenali kontur Merapi di sekitar Kali Adem dan Kali Kuning, 2 jalur lava Merapi. Saya yang sudah sangat akrab dengan Bebeng serasa tak mengenali lagi daerah ini. Seluruh lereng porak-poranda diterjang awan panas, menyisakan tumpukan lava berwarna abu-abu. Tak ada lagi pepohonan hijau yang menyejukkan mata. Seluruh desa pun sirna diterjang awan panas. Yang tampak hanya puing-puing dan atap yang terkubur abu.

Tiga tahun setelah letusan, Sahabat Petualang beserta Daihatsu Terios mengunjungi kawasan desa Kinahrejo. Melalui even bertajuk Daihatsu Terios 7 Wonders Hidden Paradise, Sahabat Petualang yang terdiri dari wartawan, blogger, dan tim Daihatsu, mengunjungi kawasan ini sekaligus melakukan bakti social. Bekerja sama dengan lembaga local yang bergerak di Corporate Social Responsibility (CSR), Daihatsu melakukan penanaman 10.000 pohon sebagai upaya nyata penghijauan kembali lereng Merapi. Acara ini juga didukung pemerintah propinsi DIY dan kabupaten Sleman, sehingga perwakilan keduanya pun turut serta menanam secara simbolis. Tak ketinggalan, Sahabat Petualang juga tak mau kalah ikut andil dalam menanam pohon untuk kebaikan generasi mendatang.

Desa Kinahrejo pasca letusan Merapi 2010 telah berubah. Kini, Kinahrejo justru lebih dikenal dengan wisata lava tour dengan menggunakan jip-jip 4 WD. Selaras dengan tajuk Terios 7 Wonders Hidden Paradise, kawasan ini dirasa cocok untuk diangkat sebagai surga wisata tersembunyi yang wajib dikunjungi. Tak hanya itu, Daihatsu Terios sebagai SUV 7 seater juga rasanya perlu diuji ketangguhannya melahap jalur yang biasanya hanya dilalui jip 4 WD.

Didukung tim wartawan otomotif yang teruji kapabilitasnya dan sopir-sopir yang handal, Tujuh Daihatsu Terios dipacu melalui jalur-jalur lava tour. Awalnya saya ragu dengan kemampuan sebuah SUV yang bukan 4 WD untuk melalui jalur berat ini. Rupanya keraguan itu sirna setelah melihat bagaimana Daihatsu Terios dengan penggerak belakang dan suspensi yang mumpuni mampu melewati jalur itu tanpa hambatan berarti. Saya benar-benar angkat topi untuk Daihatsu yang berhasil mendesain sebuat SUV keluarga 7 seater yang tak hanya nyaman di jalan raya namun juga tangguh di jalur offroad. Sahabat Petualang berhasil melewati medan berat lava tour dan ditutup dengan berfoto bersama dengan latar Gunung Merapi yang anggun.

Sebagai warga Jogja dan seorang yang pernah bercengkrama dengan Bebeng, Desa Kinahrejo, dan lereng Merapi, saya merasa apa yang dilakukan pihak Daihatsu melalui Terios 7 Wonders Hidden Paradise benar-benar mampu mengangkat kehidupan warga sekitar menjadi lebih baik dengan promosinya dan bakti sosialnya, yang walaupun baru bisa dirasakan hasilnya beberapa tahun mendatang. Sekali lagi, terima kasih Daihatsu, semoga makin banyak lagi kawasan wisata Nusantara yang bisa diangkat menjadi destinasi baru yang tersohor ke seluruh dunia.
mbok aku dijek’i mas
LikeLike
ayo ayo….
LikeLike