Perjalanan Mencari Kota-Kota yang Nyaman bagi Seorang Muslim (bag 1 ASEAN)


Sebenarnya, sudah lama saya ingin membuat tulisan untuk menanggapi penelitian yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries.” Eh, rupanya ada pula tulisan dari Mbak Jihan dengan judul yang sama, tautannya bisa dilihat di sini. Ulasan Mbak Jihan ini sangat menarik, saya jadi tergelitik untuk menuangkan pemikiran dan pengamatan saya sendiri terkait masalah ini.

Masjid Raya Aceh, masjid kebanggaan serambi Makkah, salah satu bangunan yang selamat dari terjangan tsunami
Masjid Raya Aceh, masjid kebanggaan serambi Makkah, salah satu bangunan yang selamat dari terjangan tsunami

Untuk lebih menghangatkan suasana, berikut kutipan dari kompas, yang juga dikutip dalam tulisan Mbak Jihan.

Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Lalu bagaimana dengan negara-negara lain? Masih dari blog Mbak Jihan, ternyata negara dengan mayoritas penduduk muslim yang menempati peringkat tertinggi adalah Malaysia di urutan 39. Sementara Arab Saudi sebagai pemilik dua kota suci Makkah dan Madinah berada di peringkat 131. Sebagai perbandingan, Jerman berada di urutan 17, Amerika Serikat ada di 25, sementara Jepang menduduki peringkat ke-29.

Masjid Nabawi di Madinah, kota suci umat Islam yang tenang dan damai
Masjid Nabawi di Madinah, kota suci umat Islam yang tenang dan damai

Sebenarnya, buat saya pribadi judul “How Islamic are Islamic Countries” alias “Seberapa Islami Negara Islam” sebenarnya terasa sangat bombastis. Coba kalau dipersempit menjadi “Sebarapa Islami Seorang Muslim,” rasanya jawabannya pun sangat sulit. Apakah dinilai dari seberapa rajin dia shalat, sebarapa banyak zakatnya, sebarapa banyak hafalan Quran-nya, seberapa dalam pengetahuan Quran dan Haditsnya, dll yang sangat sulit diukur. Menurut saya, pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Allah SWT selaku Tuhan Semesta Alam. Kalau individu saja tidak bisa diukur, apalagi skala yang lebih luas seperti negara.

Pasti Anda akan kembali bertanya, apa iya tidak ada parameter untuk mengukur tingkat keislaman suatu negara?

Kalau saya sendiri sih, lebih suka menilai dalam skala kota daripada negara. Lihat saja negara kita Indonesia, kalau Jakarta dibandingkan dengan Yogyakarta saja sudah jelas sekali bedanya, apalagi dengan Banda Aceh misalnya. Dan ingat, meskipun Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, Islam bukanlah agama mayoritas di semua kota. Akibatnya, warna Islam pastinya akan berbeda antara kota Bandung yang mayoritas Islam dengan kota Denpasar yang mayoritas bukan Islam.

Anda pasti masih ingin berdebat, apa dong indikator tingkat keislaman yang saya pakai. Saya sendiri tidak suka menggunakan istilah “tingkat keislaman” alias “how Islamic” dengan alasan yang sudah saya kemukakan di atas. Namun, saya lebih suka menilai tingkat kenyamanan suatu kota dan bagaimana kemudahan pelaksanaan ibadah bagi kaum muslimin di kota tersebut. Terus, tolok ukurnya apa kalau begitu?

Kalau menurut saya, sekali lagi menurut saya, seorang pekerja kantoran biasa yang gemar jalan-jalan dan tentunya beragama Islam, indikatornya adalah fasilitas publik seperti trotoar, taman, kemudian transportasi umum (penting banget nih buat traveler kere), lalu lintas, kebersihan, ketertiban, keramahan, keamanan, dan …… yang paling penting adalah kenyamanan dan kemudahan beribadah, utamanya shalat di masjid, termasuk menemukan makanan halal.

Sekali lagi, indikator di atas adalah murni pendapat saya pribadi, boleh setuju boleh tidak. Tidak ada penelitian ilmiah dan sebagainya, hanya pengamatan dan pengalaman pribada saja. Jadi kalau Anda punya pendapat berbeda, monggo-monggo mawon, wong yang Anda lihat pastinya akan berbeda dengan yang saya lihat. Kalaupun sama, intepretasinya pun belum tentu sama. Saya tidak menyinggung masalah yang berat-berat seperti politik, ekonomi, HAM, dll…Kalau masalah ini biar Simbok Oliq saja yang bergelar Master of International Relation. Kalau saya hanya bisa nggelar kloso alias tikar.

Lalu kota-kota mana saja yang dinilai, apakah kota-kota besar seluruh dunia? Wah, kalo itu sampai tua pun bisa-bisa belum semua bisa dikunjungi. Di sini saya hanya menilai dari kota-kota yang pernah saya kunjungi saja. Alhamdulillah, saat ini sudah ada beberapa kota dari beberapa negara yang setidaknya bisa memberi gambaran luas bagi Anda.

Dimulai dari Indonesia, saya lahir dan besar di Yogyakarta, kemudian kuliah di Bandung, lanjut kerja di Jakarta, kemudian hijrah ke Balikpapan (walaupun bukan di kotanya), balik lagi ke Jakarta, hingga akhirnya awal tahun ini keluar dari Indonesia. Meluas ke negeri tetangga, kota-kota di negara ASEAN yang pernah saya kunjungi adalah Singapura, Kuala Lumpur (Malaysia), Kota Kinabalu (Malaysia), Bangkok (Thailand), Hanoi (Vietnam), dan Ho Chi Minh (Vietnam). Lanjut ke Asia, saya pernah plesiran ke Tokyo (Jepang), Kyoto (Jepang), New Delhi (India), dan umroh ke Makkah dan Madinah (Arab Saudi). Kemudian saya juga pernah diajak Simbok Oliq kilas balik ke Meulborne dan Sydney (Australia). Lalu yang agak jauh adalah kunjungan ke benua Eropa yang meliputi Paris (Prancis), Amsterdam (Belanda), dan Stavanger (Norwegia). Yang paling jauh adalah perjalanan ke Amerika Serikat, dimana saya berkesempatan menyambangi kota San Diego, San Fransisco, Los Angeles (ketiganya di negara bagian California), dan Dallas (Texas). Alhamdulillah….

Kota San Diego dilihat dari laut, salah satu kota di Amerika Serikat yang berdekatan dengan perbatasan Meksiko
Kota San Diego dilihat dari laut, salah satu kota di Amerika Serikat yang berdekatan dengan perbatasan Meksiko

Saya mulai dari Yogyakarta. Rasanya ini kota ternyaman di Indonesia versi saya. Di sini fasilitas publik lumayan bagus dibanding kota lain di Indonesia. Transportasi umum yang berupa bis kota sudah banyak yang uzur dan ditinggalkan pelanggannya yang kebanyakan beralih ke motor (seperti kota-kota besar lainnya), namun untungnya sekarang bis Trans Jogja sudah mulai digemari warganya. Kondisinya masih lumayan bagus, sayangnya jangkauannya masih terbatas. Kotanya cukup bersih, bisa dibilang tak ada pemukiman kumuh disini. Penduduknya juga ramah. Sayangnya kini lalu lintasnya mulai semrawut dan macet karena saking banyaknya motor, sementara jalan hanya bertambah sangat sedikit. Tapi bisa dibilang ini masalah semua kota besar di Indonesia. Sementara dari segi kemudahan menjalankan ibadah, Yogyakarta juga sangat nyaman. Masjid mudah ditemukan di mana-mana, demikian juga dengan makanan halal. Sayangnya, di sini saya tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang saya, jadilah saya harus hijrah dulu dari kota tercinta ini.

Takbir keliling dengan nyaman di Yogyakarta, tapi cukup di jalan kompleks, tak perlu ke jalan besar yang bisa mengganggu pengguna jalan lain
Takbir keliling dengan nyaman di Yogyakarta, cukup di jalan kompleks, tak perlu ke jalan besar yang bisa mengganggu pengguna jalan lain

Lanjut ke Jakarta, rasanya tak perlu panjang lebar lagi. Masalah klasik banjir dan macet masih belum teratasi hingga kini. Belum lagi kebiasaan buang sampah sembarangan yang parah. Fasilitas publik pun rata-rata kondisinya memprihatinkan walaupun sekarang sudah banyak perbaikan. Meskipun tranportasi umum masih sulit diandalkan, tapi bagusnya sekarang sudah terlihat perbaikan yang nyata. Untuk urusan beribadah, secara umum sudah nyaman. Masjid dan mushola tersebar di seluruh penjuru, bahkan kadang-kadang berdekatan. Sayangnya, saya banyak menemui masjid yang berlebihan dalam mengumandangkan pengajian dan wirid. Sebelum subuh banyak masjid yang sudah mengumandangkan pengajian dari rekaman entah dari jaman kapan, kadang bahkan sampai sejam sebelum waktu subuh. Bagi saya, ini sangat berlebihan, apalagi tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW. Nabi hanya menyuruh sahabat Bilal untuk mengumandangkan adzan secara lantang sebagai tanda shalat lima waktu, itu saja. Kalau Anda datang ke Masjidil Haram atau Masjid Nabawi, Anda hanya akan mendengar adzan dan iqomat saja yang dikumandangkan lantang dari masjid, lain itu tidak. Selain menyelisihi sunnah, pastinya sangat mengganggu warga yang sedang beristirahat, apalagi bayi dan anak kecil. Jangan salah sangka lho, saya sendiri selalu berusaha shalat subuh tepat pada waktunya dan pergi ke masjid, tapi saya sangat tidak setuju kalau suatu masjid berlebihan dalam mengumandangkan pengajian dan wirid diluar adzan dan iqomat, karena memang tidak ada tuntunan dari Nabi SAW dan sangat menggangu. Kalau hal ini, Simbok Oliq yang sensitif karena Oliq suka tiba-tiba bangun dan menangis waktu masih bayi.

Masjid kubah emas di Depok... mungkin inilah masjid paling mewah di Indonesia
Masjid kubah emas di Depok… mungkin inilah masjid paling mewah di Indonesia

Mari kita beranjak ke negeri tetangga. Dimulai dari Singapura, sepertinya negeri ini contoh yang nyaris sempurna sebuah negara maju. Fasilitas publik yang bagus dan terawat, transportasi publik berbasis rel yang menjangkau hampir semua wilayah, serta kebersihan yang sangat terjaga di setiap sudut kota merupakan idaman setiap warga kota. Namun karena Islam bukan agama mayoritas disini, mencari masjid tidak semudah seperti di kota-kota di Indonesia ataupun Malaysia, walaupun masih lebih mudah dibanding kota-kota di negara-negara Eropa. Makanan halal juga demikian, meskipun tidak semua tempat ada, namun dengan sedikit usaha pasti kita bisa menemukannya. Tapi berhubung negara ini sangat kecil, suasana disini terasa sangat padat. Dimana-mana gedung pencakar langit, entah perkantoran atau apartemen. Seperti terkurung dan cenderung membosankan bagi saya. Belum lagi harga-harga yang sangat mahal dibanding harga-harga di Indonesia atau Malaysia. Untuk tinggal sementara waktu memang nyaman, tapi untuk tinggal dalam waktu lama, saya sendiri kurang suka.

Kali ini saya akan melewati Kuala Lumpur karena akan saya ulas di bagian terakhir. Beralih ke Bangkok, secara umum fasilitas publik dan lalu lintas di sini mirip dengan Jakarta. Dulu saya datang ke sini sekitar tahun 2005 sebelum transportasi massal dibangun, jadi rasanya mirip dengan di Jakarta. Mungkin sekarang sudah lebih mendingan daripada ibukota Indonesia itu. Sisi baiknya, disini sungai masih dimanfaatkan sebagai jalur transportasi sehingga bisa mengurangi kepadatan di jalan raya. Kalau soal kebersihan dan ketertiban, menurut saya mirip-mirip dengan Jakarta, tapi entah kalau sekarang. Nah, kalau bicara masalah Islam, disini jelas minoritas, jadi mencari masjid dan makanan halal agak sulit. Biasanya masjid hanya ada di pemukiman-pemukiman Islam yang umumnya orang India – Pakistan muslim atau pemukiman Melayu. Tapi kalau makanan halal masih bisa dicari dengan sedikit usaha karena wilayah ini masih berdekatan dengan Malaysia. Jadi buat seorang muslim, kehidupan di Bangkok memang agak sulit dibandingkan di Kuala Lumpur atau Jakarta, bahkan Singapura yang juga bukan mayoritas Islam.

Menuju ke utara lagi, secara umum Ho Chi Minh City terlihat lebih tertinggal dibanding ibukota-ibukota lain di negara ASEAN. Tak heran, perang Vietnam yang baru berakhir tahun 1976 membuat kota ini terlambat melakukan pembangunan. Namun, dibalik fakta itu, saya cukup kagum dengan kemajuan yang sudah dicapai kota ini. Meskipun secara umum fasilitas publik tidak terlalu bagus, di beberapa tempat terasa sangat nyaman untuk sekedar berjalan-jalan santai. Transportasi umum masih jauh tertinggal disini, bahkan taksi pun mayoritas berupa sedan butut tanpa argo. Lalu lintasnya juga sangat padat dengan motor, namun saya merasa lebih tertib dibanding Jakarta. Yang membuat saya kagum, terasa sekali penduduknya memiliki semangat kerja yang kuat setelah masa peperangan berakhir. Yang menyenangkan salah satunya adalah harga-harga makanan yang murah disini. Oya, sekedar info saja, mata uang vietnam, dong, nilainya lebih kecil dari rupiah, satu rupiah sama dengan 2 dong. Kalau untuk kaum muslim, mencari masjid dan makanan halal lebih sulit lagi. Seperti halnya di Bangkok, masjid umumnya ada di kantong-kantong kaum India-Pakistan muslim atau Melayu. Jadi kehidupan umat Islam di sini memang agak sulit, mirip dengan di Bangkok. Namun demikian, dalam pengamatan saya kaum muslim di sini cukup bebas dalam menjalankan ibadah, tidak ada tekanan.

bersambung ke bagian Asia…

 

5 thoughts on “Perjalanan Mencari Kota-Kota yang Nyaman bagi Seorang Muslim (bag 1 ASEAN)”

    1. 140 cum, bukqn 40! nah kan kamu tinggal di menteng atas tuh…keganggu ga sama masjid yang sahut2annya heboh kalo adzan? belum lagi pra-subuh sekitar jam 3.15 yang kencengnya minta ampun. Pas oliq 6 bulan pernah semalaman dia ga bisa tidur gara2 malam idul adha rame banget. akhirnya baru bisa tidur pagi, akibatnya simboknya pun ga ikut shalat eid. Di sini hidupku lebih damai, cuma tinggal telp satpam kalo tetangga atas muter lagu keras-keras. Kalo di Jakarta protes masjid bisa2 aku dikepruki FPI

      Like

  1. Ukuran ke’islam’an yang saya tulis di tulisan saya dicek saja ke link aslinya ke penelitian “How Islamic are Islamic Countries?” itu hehehehe. Mereka menggunakan indeks sosial, ekonomi dan muamalah lainnya yang didasarkan pada ‘ajaran Islam’ versi penelitinya :D. Lengkap kok ulasannya di sana. Nantii saya tambahkan tautan penelitian dan hasilnya di link blog, deh :D. Kok akidah enggak dimasukkan? Ya karena kita sudah sepakat dong ya, urusan salat-zakat-puasa-tauhid itu urusan tiap manusia dengan Allah saja ;). Begitu kira-kira maksudnya. Semoga bisa dipahami ^_^.

    Like

    1. Setuju mbak Jihan…Islami di penelitian itu memang lebih mengedepankan pada hal-hal kasat mata yang benar memang sesuai ajaran Islam. Kalau akidah dihitung, gimana cara ngitungnya coba. Sesuai pengalaman kami yg suka dolan-dolan ini jujur saja justru negara-negara di mana Islam minoritas itu terasa lebih ramah adem bagi kami yang sangat terlihat muslim ini (pake kerudung dan si Puput punya jenggot kambing). bagi aku tetap saja juaranya adalah Jepang, so far.

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.